Selasa, 21 September 2010

Pesona Lubuk Parahu

Jenuh dan lelah oleh kesibukan sehari-hari ternyata dapat terobati dengan menikmati pemandangan alam, dan alunan irama air yang mengalir tiada hentinya. Hal inilah yang kemudian mengantarkan penulis bersama teman dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Padang serta dua orang mahasiswa dari Jepang dan Jerman sampai ke Lubuak Parahu. Suatu tempat yang terletak di Kelurahan Lambuang Bukik Kecamatan Pauh.
Lubuak Parahu sangat mudah dijangkau. Lebih kurang 10 km dari pusat kota Padang jika kita mengambil jalan lurus ke Kampus Unand Limau Manih. Sebelum sampai ke pintu gerbang kampus kita ambil jalan ke kiri atau masuk di simpang Batu Busuak. Jarak dari simpang ini ke lokasi lebih kurang 6 km. Alangkah lebih baik jika kita ke sana menggunakan sepeda. Mendayung santai sambil menikmati indahnya pemandangan kiri kanan selama perjalanan ke Lubuak Parahu.
Dari simpang Batu Busuak ini jalannya cukup bagus dan telah beraspal. Di kiri terlihat aliran sungai (batang aia) sedangkan di kanan gugusan perbukitan. Tidak sampai satu jam penulis pun sampai ke jembatan Batu Busuak. Konon jembatan ini dibangun pada masa kolonial Belanda, sama tuanya dengan bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batu Busuak yang berada setelah kita melewati jembatan tua tersebut.
Hanya dalam hitungan menit, sekitar lima menit dari PLTA atau lima belas menit dari simpang Batu Busuak kita akan sampai pada sebuah jembatan (dibangun tahun 1994). Jembatan ini oleh masyarakat setempat disebut Jembatan Buai Lubuak Parahu. Begitu kami berada di jembatan ini sebenarnya kita sudah berada di kawasan Lubuak Parahu. Dibawah jembatan terlihat jernihnya air yang membiru. Sungguh masih perawan kawasan ini. Beberapa ekor monyet terkejut melihat kedatangan kami.
Aliran air di sungai ini berasal dari Padang Karuah Padang Janiah, yaitu mata air yang terletak jauh di dalam gugusan bukit barisan (bukik bulek) arah ke timur. Dari sumber mata air tersebut sampai dimana penulis berdiri terdapat ratusan bagian sungai yang dalam atau berlubuk. Sehingga masyarakat setempat ada juga yang menyebutnya Batang Aia Saribu Lubuak. Dan jika mau menelusurinya ke arah barat maka kita akan sampai ke jembatan proyek Lambuang Bukik.
Salah satu yang menarik bagi kami adalah akar pohon yang terjuntai panjang di pinggir tebing, bisa digapai lalu berayunan di atas air, layaknya tarzan yang pindah dari satu pohon ke pohon lain. Atau mencemplungkan diri ke dalam air yang berlubuk, yang tidak terlalu dalam, karena bagian dasarnya datar memanjang dan pada dua ujungnya dangkal, seperti bentuk perahu.
Setelah bosan berenang kami pun duduk sejenak, lalu melemparkan makanan kecil ke air, dan dari sana akan bermunculan kerumunan ikan gariang. Hanya saja ikan gariang tersebut dilarang ditangkap. Oleh masyarakat setempat disebut ikan uduhan, yaitu ikan yang telah dimantrai dengan do’a, bagi yang menangkap dengan sengaja akan berakibat sakit atau menemui ajal. Biasanya ikan bisa di panen atau diambil setelah mantra pada ikan dicabut melalui suatu ritual adat.
Sungguh pesona yang sulit diucapkan dengan kata-kata. Betapa tidak, dikawasan ini semilir angin terdengar diantara kecipak air yang mengalir tidak begitu deras, sehingga cukup aman jika dijadikan tujuan wisata keluarga. Jika saja Kawasan Lubuak Parahu ini dikelola dengan baik dan profesional, maka akan menambah khazanah wisata alam Kota Padang, atau paling tidak sebelum dan disekitar objek Lubuak Parahu akan bermunculan aneka usaha kecil-kecilan, yang berarti masyarakat punya penghasilan tambahan selain bertani, berladang dan mencari batu.
Semoga saja alam kita bisa bertahan dan tetap ada sepanjang masa. (MR. ADAZ)