Selasa, 25 Januari 2011

KOTA KU ......


MASIH PERLUKAH KOTA TUA ?


OLEH : MARSHALLEH ADAZ
            Hanya dalam rentang waktu tidak lama, Pemerintah Kota Padang menunjukkan kesungguhannya untuk menyelamatkan dan melestarikan bangunan tua bernilai sejarah yang terdapat di kota ini. Kesungguhan niat tersebut dibuktikan melalui kegiatan seminar dan workshop pada tanggal 13—15 Desember 2010 dan 6—7 Januari 2011, berlangsung di Lapau Gadang (Museum) Bank Indonesia Jl. Batang Arau No. 60 (dekat Jembatan Siti Nurbaya).
            Memang tidak ada kata terlambat. Rencana penyelamatan bangunan kolonial atau bangunan tua bernilai sejarah di sepanjang Batang Arau, Pasa Gadang, Pasa Batipuh, Pasa Mudik, Pasa Malintang dan beberapa lainnya di Kota Padang, adalah wacana yang telah mengapung cukup lama. Sebut saja misalnya BP3 Batusangkar, BPPI Sumbar, BKNST Padang, Arkenas, penelitian dari perguruan tinggi, atau lembaga terkait lainnya, telah terlalu sering meninjau langsung bangunan yang ada disekitar kawasan tersebut, dengan hasil memberikan solusi konservasi berikut rancangan tindak lanjut, yang tentu saja disampaikan ke Pemerintah Kota Padang. Namun karena keterbatasan dana yang besar untuk rehabilitasi atau ”kurang beraninya” Pemko, akhirnya berbagai rencana dan proposal tersebut hanya menumpuk di atas meja.
            Mungkin saja lain dulu lain pula sekarang. Di lintas vertikal maupun horizontal kesadaran untuk menyelamatkan bukti sejarah yang tersisa itu mulai tumbuh dan menggelora sebagai tanggung jawab bersama.
Bulan Desember 2010 diadakan Seminar dan Workshop Rekonstruksi dan Rehabilitasi Bangunan Cagar Budaya Pasca Gempa Sumatera Barat, dengan peserta dan narasumber dari Dirjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Budaya dan Pariwisata, Kementerian PU, UNESCO – Jakarta, NRICP Tokyo, Ahli Geologi UGM, dan instansi/lembaga di Sumatera Barat. Kemudian pada kesempatan kedua, Januari 2011 di tempat yang sama, hadir secara spesial para ahli bangunan tua dari Jepang (NRICP-Tokyo). Dua momentum ini semakin memantapkan keyakinan kita bahwa bangunan tua bersejarah di Kota Padang perlu segera di selamatkan.
            SK Walikota Padang Nomor 03 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Penempatan Bangunan Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kota Padang merupakan benih yang semestinya sudah disemaikan, dan saat ini kita sedang memetik hasilnya. Namun apa hendak dikata, perbaikan stuktur dan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan lebih dominan  sehingga membuat kita terlena dan sepertinya mengabaikan pelestarian.
Dan kembali takdir tak bisa ditebak, gempa 30 September 2009 telah meluluhlantakan  Padang, Padang Pariaman, Pariaman, Pasaman dan Agam. Bagi Kota Padang ternyata sengsara membawa nikmat. Menyaksikan dan melihat satu per satu bangunan lama yang rusak dan hancur, menyentakkan lamunan semua orang. Jika binasa, bukti sejarah apalagi untuk generasi berikutnya. Jika rusak, pesan apalagi yang dapat disampaikan bahwa beginilah kota ku doeloe-nya. Seperti dua sisi mata uang; reruntuhan bangunan tua membuat mereka yang menghargai nilai sejarah harus meratapi ketidakberdayaan atas kuasa alam ini dan kembali mengkaji konsep awal, namun bagi mereka pemilik bangunan tua bisa jadi jalan mulus pun terbentang untuk menghancurkan dan mendirikan bangunan yang lebih modern.
            Seberapa besarnya uji ambisi untuk menjaga kota tua agar tetap lestari dapat di evaluasi melalui lintasan sejarah dan kondisi geografis dimana bangunan bersejarah itu berada. Untuk Kota Padang saja, antara sejarah dan kondisi geografis adalah kembar siam yang tidak bisa dipisahkan. Dimulai dari tahun 1696, 1763, 1770, 1797, 1833, 1864, dan 1892,  kawasan pantai bagian barat pulau Sumatera pernah terjadi gempa. Beberapa diantaranya pernah menimbulkan gempa besar dan tsunami, seperti tahun 1696 dan 1797 yang menghancurkan Kota Padang, bahkan beberapa perahu yang tertambat di Muaro Padang sampai terlempar ratusan meter ke arah daratan. Oleh beberapa para ahli sejarah, kronologis ini menyebabkan masyarakat Kota Padang arif dengan kondisi tersebut, sehingga tidak salah jika jauh ke arah daratan dapat ditemui bangunan-bangunan tua. Sedangkan bagi yang memilih tinggal dekat dengan laut mendirikan bangunan berpanggung untuk menghindari banjir, atau konstruksi bangunan yang lebih kuat agar tahan gempa.
            Beberapa penelitian ahli geologi, meteorologi dan  geofisika, baik dalam maupun luar negeri, sependapat jika pesisir Padang atau sebagian besar Kota Padang berada pada jalur lempeng dan palung samudra yang diakumulasikan sebagai sumber gempa bumi, yang terkenal dengan patahan semangka-nya. Jika letupannya di laut maka berpotensi tsunami dan jika pergeserannya ke daratan akan menimbulkan gempa tektonik yang dapat saja memicu aktifnya vulkanik. Kondisi ini memang telah terbukti menghasilkan bencana.
Gempa tahun 2009 walau tanpa tsunami dapat menjawab realisasi teori tersebut. Sebanyak 1.117 jiwa meninggal dunia, 114.797 rumah dan bangunan rusak berat, dan aktivitas kota lumpuh saat itu juga. Termasuk di dalamnya sebanyak 46 bangunan cagar budaya (dari 73 SK Wako 3/98) mengalami rusa sedang dan parah.
Beberapa penelitian dan survey oleh beberapa lembaga yang peduli akan nasib peninggalan bersejarah, baik dalam dan luar negeri, dapat menyimpulkan bahwa keberadaan bangunan tua di Kota Padang hampir berada pada status punah. Bahkan mungkin tidak berarti sama sekali sebelum adanya bencana gempa ini, yang telah mengalami perubahan fisik, material dan warna. Untuk kondisi; 169 (59%) mengalami rusak berat, 46 (16%) rusak sedang, dan 72 (25%) rusak ringan. Perbaikan pasca gempa; 39 (14%) sudah diperbaiki, 44 (15%) diperbaiki dan mengalami perubahan, dan 205 (71%) tidak diperbaiki sama sekali. Dan untuk peralihan fungsi; 88 % digunakan untuk perdagangan, 14 % institusi, dan sisanya sebagai tempat tinggal, fasilitas umum dan indsutri. Bagi pemilik atau penghuni yang tidak melakukan perbaikan, hal ini karena tidak adanya biaya sehingga cenderung menunggu dana gempa yang tidak seberapa.
Hasil analisa SWOT tim tersebut dengan tegas menyatakan bahwa; banyak bangunan berubah fungsi, tidak terawat dengan baik, rumah walet, bangunan baru yang tidak kontekstual, Infrastruktur yang kurang memadai, polusi Batang Arau, fasilitas wisata yang kurang terkelola, dan tidak tertatanya PKL. Berbanding terbalik dengan harapan yang nyata bahwa; memang di klaim sebagai kawasan awal pertumbuhan kota Padang, masih terdapatnya koleksi bangunan kolonial, India, China, dan rumah Padang lama, potensi Batang Arau sebagai wisata air dan pelabuhan, pusat gudang penyimpanan barang, dan keragaman budaya yang masih ada.
Diatas kertas dan teoritis memang harus ada beberapa sikap dan tindakan, seperti; tindakan perlindungan preservasi kawasan bersejarah, penguatan struktur pengelolaan oleh pemerintah, persamaan persepsi positif segala lini dan lapisan, kontinuitas survei dan penelitian, dan ketegasan hitam diatas putih oleh pengambil keputusan. Namun sekuatnya mendayung, selalu terbentur pada masalah pendanaan, tentang siapa yang akan menanggulanginya, bentuk imbalan kepada donatur, dan bahkan perebutan kepentingan jika dana itu telah tersedia. Padahal semua orang tahu, anggaran pembangunan pemerintah akan semakin terbatas jika hanya digunakan untuk konservasi.
Kondisi ini-lah yang kemudian melahirkan pemikiran perlunya campur tangan bantuan lembaga konservasi negara lain, seperti Belanda dan Jepang yang telah berhasil menyelamatkan benda cagar budayanya akibat bencana.
Masih perlukah kota tua.
Jika seandainya bantuan itu datang dalam bentuk pinjaman atau penawaran, kesepakatan apakah yang mesti disepakati. Mungkin dengan pertanyaan ”perlukah” ini, diperlukan kebijakan yang lebih bijak, keputusan yang tepat dan penetapan sistem yang transparan.
Jika memang ”Kawasan Kota Lama” akan dijadikan  landmark atau icon-nya Kota Padang, maka ”Kota Tua” harus segera diselamatkan, menghentikan pembongkaran bangunan yang sedang berlangsung, me-wajibkan pemilik bangunan untuk membangun ke bentuk semula, memberikan tindakan tegas karena sebelumnya telah ada imbauan kepada pemilik bangunan cagar budaya, dan hentikan segera tarik ulur kepentingan diatas lahan kota lama. Jika memang ”Kota Tua” adalah sebuah koridor etalasenya Padang Kota Lama, maka langkah konkrit untuk itu adalah realisasi segera rumusan hasil penelitian seminar dan workshop yang baru saja dilaksanakan. Jangan lagi membuat wacana dan konsep baru yang akhirnya akan membuahkan tambal sulam rencana, yang justru semakin memperpanjang jalan pemulihan. Karena kondisi fisik bangunan yang ada sekarang tidak akan mampu bertahan kalau harus menunggu kajian demi kajian lagi.

KAMPUNG NELAYAN

PORT FACE BY PADANG C.W. AFTER MIELING H.J.J.L. Stuers, AMSTERDAM 1849 - 1850
Nineteenth Century Prints Illustrated AND BOOKS OF INDONESIA - 1979
BY JOHN AND CUSTOMS BROMMER Basin

FISHERMAN HARBOR ESTUARY AND MOUNTAIN PADANG Painted by J. Stadler, LONDON - 1811 Nineteenth Century Prints Illustrated AND BOOKS OF INDONESIA - 1979 BY JOHN AND CUSTOMS BROMMER Bastin

KAMPUNG NELAYAN


KAMPONG FISHERMAN
By: Marshalleh Adaz

Formerly at the summit of Mount Padang there is a place to hang a flag pole balls are colorful. From the way the ball hung to known types of ships that enter and exit through Muaro Padang. And there is a stone near the flag pole basurek, which clearly older than the flag pole itself. It's just that there is no actual reference to the truth and the contents of these basurek stone.

As in painting pictures C.W. AFTER Mieling H.J.J.L. Stuers, Amsterdam 1849-1850, Gunung Padang in describing the shape of a triangle with dipuncaknya flagpole and two adjacent islands (Pulau Pisang and Pulau Pisang Gadang Ketek).
Some ships and fishing boats also decorate the painting. Depiction of conditions in the form of painting in those days was fantastic, although there are some objects that are less precise. For example, two adjacent islands, where the view is now only visible from the beach Manih Aia, then there is a building tucked between Mount Padang to Bukit Gado Gado. But such was the power of a painting. Illustrations are able to bridge the memories and the natural dimensions of the human mind. So be sure the painting was made based on what you've seen and felt painter while in Padang Beach. Maybe when it stood at mid Strandweg painter (Edge of the Sea Road - now Ocean Way).

Almost all the paintings or photographs of Padang for beach before the 19th century shows a boat. For example painting J. Stadler (London, 1811), which described the buffalo and the boat in the driveway of the river (estuary), Padang, or painting of a fishing boat with background house and mountain Padang. Another painting, by P. Lauters (Amterdam, from 1843 to 1845), more dominant with big-screen poster boat that was sailing a small boat and some of them. Some photo collections KITLV Leiden also describes the sea, rivers and boats. The existence of these boats indicates that Muaro Padang is the area of fisheries, trade, government, military and other living communities associated with river and sea. According to historical records, until the late 19th century, Muaro Padang can only be passed by a small boat and was, for the size of a large boat had docked at Banana Island Tower, and followed by a small boat. This is due to shallow and narrow Muaro Padang period. Because of its location near the sea and river flow, among others, Padang known fishing village or kampong Batung. Last term because it's easily found thick lush bamboo.
Its existence as a region likely to start with theory and historical research which states that children from Dara Orange Adityawarman who crowned himself as the first king of Minangkabau (1339). In extending the power and to run his government Adityawarman appointed a viceroy for the Agam, Tanah Datar, Fifty Cities, Kubang Thirteen, Solok, seacoast and the seacoast east coast on the west coast (Padang is in this region). In other literature also mentioned the Portuguese (Thomas Diaz) never get to Padang (1684) after he was stopped in the area Batusangkar. Travel Diaz arrived at Padang through Kamparkanan and Si Balimbing. Only Diaz welcomed the arrival of antipathy by the people of Padang thus forcing Diaz to continue wandering by taking the Minangkabau region boundary mountain ranges with the eastern part of Sumatra Island. In the previous year (1660) also called the port city of Padang and had become the site of a treaty between the Netherlands with the people of Aceh as local authorities are gaining a monopoly over the earth.
It is not easy to know exactly when to start the first time an occupied area. Perhaps the logical interpretation can be obtained separately. If Aditywarman its own expansion to the west coast of Sumatra means there pre-existing population. Likewise, as a fishing village, the utilization of nature because of its geographical conditions have made the sea as the main livelihood of the time, so because of the similarity of the need for life settlements formed, in a larger capacity eventually become the village.

One thing more interesting than the painting, the picture without the outrigger canoe, one pole as the center of the screen buffer and a thatched cottage in the middle. To speed rowed with human power and the screen will be developed if it is located in the middle of the sea. Boats like these can also be called a medium size. While the large size marked Dengah main mast or pole addition, the multilevel structure of the screen, more than four meters wide and more than ten meters long, and are building a large enough middle. While for small boats, also called boat, elongated shape with a width of approximately one meter, more enabled transport people to and from large ships at sea park (near Banana Island Tower). With the condition without outrigger boat or other means of balance is a little contrary to the assumption of the research C. Nooteboom, that until the century millennium (1000 yr) bercadik boat boat has been used mostly in Indonesia and Oceania. Outrigger canoe is a tool balancer of bamboo that is placed along the walls of the boat.
However, after all, boats in the fishing village "Padang" has become a major water transportation, the ancestral symbol without contamination prior to the arrival of foreign nations, and the embryo of the potential for the advancement of civilization in the following years. My ancestors were a sailor ... ...

That is a line of lyric song still ringing ears when we talk about the sea. Dayuang Dayuang ... ..., ... the child dayuang palinggam, is the daily rhythm of fishermen, where the bow of their boats has combined Mount Padang - Batang Arau with settlements along the river - line of sand along a sloping beach of Padang, into a single package that passed down from generation to generation.