Sabtu, 18 Desember 2010

Yang Tersisa ........


Bangunan Geo Wehry & Co
Jalan Batang Arau No. 58


Bangunan ini didirikan awal abad 20. Geo Wehry adalah seorang bisnis berkebangsaan Jerman yang pada tahun 1900 berimigrasi ke Belanda. Konsentrsi bisnis Geo Wehry waktu itu adalah  mengimpor semua jenis rempat dari Indonesia, terutama dari Sumatera Barat.
Sesudah Perang Dunia ke-2, perusahaan Geo Wehry bergabung dengan Borneo Sumatra Maatschappij, dengan kesepakatan impor kelapa dari Kalimantan dan Kopra dari Sumatera. Borsumij Wehry resmi menjadi menjadi pengumpul barang di Amsterdam Stock Echange sampai 1980.
Bangunan ini memiliki bangunan penunjang disamping kiri dan belakang.

(MR. ADAZ)
Dirangkum dari beberapa sumber yang terbatas.

Senin, 13 Desember 2010

NASIB MU PADANG KOE


MENGGUGAT OBJEK WISATA BERSEJARAH



            Selalu akan muncul pertanyaan, jika daerah yang sarat dengan potensi tapi minus penghasilan dari potensi tersebut. Bahkan pertanyaan itu sendiri akan lebih tajam, jika anggaran yang terus diminta dan mengalir justru tidak berakar dari potensi yang dimiliki. Permasalahan ini sepertinya sudah menjadi langganan bagi Kota Padang. Tatkala tuntutan sebagai kota idaman semakin menggema, Padang ternyata disibukkan oleh peningkatan pembangunan berbasis ekonomi, pendidikan, sosial, budaya            dan agama, yang ternyata semua itu sebagian besar bermuara pada pembangunan fisik. Dan begitu salah satu basis mengalami benturan, maka faktor sosial, seni, budaya, dan agama tampil sebagai pendamping utama. Setidaknya begitulah anggapan kita sampai saat ini. Lalu, kenapa kita tidak mencoba menggali dan mengembangkan potensi yang jelas-jelas telah ada di pelupuk mata. Dengan harapan potensi itu sendiri dapat menjadi kebanggaan kota.
            Sumatera Barat pada umumnya dan Padang khususnya, telah ditetapkan sebagai salah satu dari lima daerah tujuan wisata, yang dapat membuka peluang tumbuh dan berkembangnya  seni, budaya dan potensi lainnya. Hal ini pernah disampaikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dalam Pembukaan Pekan Budaya Sumatera Barat, tanggal 27 November 2006.
Kenyataannya memang terasa, geliat wisata di kota ini berbanding terbalik dengan kekayaan wisata yang dimiliki. Selintas mungkin dapat kita lihat, Padang tak lebih dari kota transit bagi turis asing, yang singgah kemudian menuju Bukittinggi, kepulauan Mentawai atau daerah lainnya. Jika kita berada di daerah tetangga tersebut, kita sering melihat wisatawan asing hilir mudik, atau bersilancar di tengah tingginya ombak Mentawai. Mereka itu datang membawa dolar, yang berarti memberi tambahan pendapatan terhadap daerah itu sendiri. Kita tidak menampik kalau Padang juga punya objek alam, dengan pantainya yang membentang melingkar dari selatan ke utara, mulai dari Taman Nirwana dan Karang Tirta (Bungus Teluk Kabung), Teluk Bayur, Pantai Air Manis, Muaro Batang Arau, Pantai Ulak Karang dan Pantai Pasir Jambak (Koto Tangah). Bahkan diantara gugusan pantai tersebut terdapat Pulau Sikuai yang disulap menjadi Sikuai Island Resort. Masih ada lagi pulau-pulau sebagai pemikat wisatawan, seperti Pulau Pisang Gadang, Pulau Sirandah, Pulau Cubadak dan pulau kecil lainnya. Disekeliling pulau tersebut terdapat alternatif objek wisata, misalnya taman laut dengan aneka flora dan terumbu karangnya. Teluknyapun dapat dijadikan arena menyelam, memancing, jetsky, dan olahraga air lainnya. Lalu, kenapa kita tidak melihat seringnya para wisatawan asing bersileweran di kota ini, bukan berarti menjadikan populasi bule sebagai standarisasi pariwisata, namun mungkin dengan kedatangan mereka dapat diasumsikan bahwa informasi potensi kita telah sampai kenegeri mereka.
            Seakan tak mau kalah dengan potensi alam tersebut, Padang ternyata memiliki bangunan tua bernilai sejarah, seperti kawasan Batang Arau dan sekitarnya terdapat bangunan-bangunan dengan gaya lama, yang tersebar sampai ke pusat kota. Bahkan di daerah pinggiran, dapat juga ditemui bangunan atau rumah tua yang jika dilihat dari fisiknya bisa diperkirakan ketuaan usianya. Lalu, muncul lagi pertanyaan, kenapa potensi yang tak ternilai ini sama sekali sangat jauh dari sentuhan demi mendongkrak arus wisatawan ke Kota Padang. Apakah tidak ada usaha yang mengkemas sedemikian rupa sehingga menarik untuk dilihat, disinggahi dan menjadi daya tarik untuk selalu dikunjungi. Apakah, satu lagi pertanyaan sentimentil, para pihak yang berkompeten baik pemerintah maupun swasta, sudah semakin larut dengan kepentingannya sendiri sehingga melupakan warisan dari leluhurnya. Padahal, jika mau saja sedikit peduli dan usaha, potensi warisan tersebut pada akhirnya akan mengalir untuk kepentingan bersama, bahkan terbuka juga kemungkinan untuk kepentingan pribadi.
            Tahun 1988 pernah dilaksanakan pendataan terhadap bangunan kuno dan kolonial serta kawasan bersejarah di Kota Padang, yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota. Upaya ini kemudian direspon Undang Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam undang undang tersebut sangat jelas ditegaskan bahwa pengelolaan benda cagar budaya dan situs tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga masyarakat, kelompok atau peorangan. Apalagi, dengan terbitnya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah diberikan peluang bagi daerah untuk mengelola segala sumberdaya yang dimiliki, termasuk sumberdaya budaya atau sejarah, agar menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Inti dari semua itu adalah pelestarian dan pemanfaatan sehingga berhasil guna dan berdaya guna. Seharusnya dengan data tersebut sampai sekarang telah terlihat hasil yang menggembirakan. Seharusnya di Padang telah terlihat lonjakan arus wisatawan. Apakah kota ini akan selamanya terus mengusung wacana peningkatan kepariwisataan.
            Melihat kepada hasil pendataan, terinventarisasi sebanyak 74 bangunan/objek bersejarah, yang sebagian besar berada di kawasan Batang Arau, Pasa Gadang dan Jalan Jenderal Sudirman. Ini belum termasuk kawasan lain di beberapa kecamatan di Kota Padang. Dan satu langkah lagi, Tahun 2006, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Padang juga telah kembali melakukan kegiatan pendataaan yang sama, dengan beberapa tambahan lokasi temuan bangunan/objek. Namun sekali lagi, data tersebut walaupun telah dibukukan, itu hanya sebuah wacana. Kalaupun akan direalisasikan, harus melalui usulan untuk tahun berikutnya (2008). Lantas, hasil nyata apa yang telah dilahirkan dari pariwisata bersejarah sampai saat ini. Jawabannya akan terus mengambang, karena hampir sebagian dari bangunan tua di kota ini telah beralih fungsi menjadi pergudangan, perkantoran atau bangunan kosong. Belum lagi bangunan atau benda bernilai bersejarah yang tersebar di beberapa kecamatan, yang belum diketahui dan tersentuh sama sekali.
            Penulis pernah mencoba menelusuri kawasan batang arau, mulai dari Stasiun Pulau Aia sampai ke ujung Muaro Padang. Sangat memilukan sekali, bangunan yang seharusnya menjadi saksi sejarah harus bersinggungan dengan pemanfaatan yang mengaburkan arti kenangan. Misalnya Stasiun Pulau Aia (bukan Pulau Air),  telah menjadi wacana bagi J.F. Kipperman, yang bertindak atas nama Gemeente Padang tanggal 1 Maret 1900. Kipperman merencanakan mendirikan tempat mangkalnya gerbong kereta api (stasiun/halte keretapi) untuk eksploitasi dari dan ke Kota Padang. Rencana Kipperman ini ternyata baru dapat terealisasi tahun 1929. Sekarang stasiun tersebut dijadikan gudang dan tempat mangkalnya truk. Kembali menyisiri pinggiran Sungai Arau (Batang Arau), penulis melihat beberapa bangunan tua dengan arsitektur kuno yang mencerminkan kejayaan pada masa terciptanya. Secara acak penulis akan sampaikan hasil pengamatan tersebut.
            Beautik Hotel, Jln. Batang Arau No. 33. Dulunya adalah bangunan Spaar Bank. Bangunan ini memiliki dua lantai. Disamping pintu masuk terdapat inskripsi yang dipahatkan pada marmer putih yang berbunyikan Padangsche Spaar Bank, dibangun tahun 1908. Bangunan ini telah mengalami pengulangan bentuk persegi dan lengkung secara horizontal. BTN pernah berkantor di bangunan ini. Sejak tahun 1995 difungsikan sebagai penginapan, menurut informasi, penginapan ini khusus untuk turis asing.
Beberapa bangunan tua lainnya masih berjajar sampai ke Jembatan Siti Nurbaya seperti di Jln. Batang Arau No. 23 (Kantor NV. Internatio-1910), No. 24, No. 34 (dibangun tahun 1910), No. 44 dan 48 (gudang Bersumy Wehry), No. 42 (sekarang Kantor Bank Mandiri-dulunya Kantor Nederlandsch Indiche Escompto My), No. 46 (Kantor Bersumy Wehry), No. 50, No. 52-54 dan 56.
Mata penulis tertumbuk pada sebuah bangunan berbentuk segitiga yang meruncing secara frontal. Pada bagian puncaknya (bubungan) terdapat tiga buah atap yang menonjol ke atas, seolah-olah sebagai cerobong. Pada bagian atasnya terdapat deretan motif matahari berdekatan dengan  dua buah lubang angin. Bangunan ini adalah bangunan Geo Wehry & Co, dibangun awal abad ke-20. Berdasarkan informasi yang diperoleh, mengambil nama dari nama seorang pengusaha Jerman, Geo Wehry berimigrasi ke Belanda kemudian berkecimpung di bidang usaha impor rempah-rempah dari Indonesia terutama Sumatra Barat. Sesudah Perang Dunia ke-2 Wehry bergabung dengan Borneo-Sumatra Maatschappij (Borsumij) dengan kesepakatan kelapa dari Kalimantan dan kopra di Sumatra. Akibat prospek usaha inilah yang mengantarkan Wehry berdomisili usaha di Padang, dengan basis kantor di pinggiran Batang Arau untuk memudahkan transportasi ke dan dari Kota Padang. Keberadaan gedung ini pernah menjadi agenda Badan Warisan Sumatra Barat (BWSB) untuk dikonservasikan serta difungsikan sebagai bangunan pusat kebudayaan Namun, pihak terkait kurang merespon aspirasi ini. Pemerintah kota sebagai generatornya otonomi daerah justru lambat dalam menanggapi potensi seperti ini. Padahal jika memang ditindaklanjuti, mungkin sekarang Bangunan Geo Wehry tersebut telah berfungsi sebagai exhibition house, tempat latihan/pagelaran seni serta kebudayaan Kota Padang, turis informasi, meeting room, dan berbagai kegunaan lainnya. Bangunan ini memiliki luas 24 x 35 m2 dengan bangunan penunjang lain di samping kiri dan belakang.
Bersebelahan dengan SPBU, Jln. Batang Arau No. 70, sebuah bangunan dengan atap genteng berbentuk limas, memberikan daya tarik untuk dilihat. Pada dinding pintu depan kirin kanan terdapat inskripsi yang menerangkan bangunan ini dibangun oleh Bouwk Bureau (biro) bernama sitsen en Lauzada. Dibangun tahun 1933 seperti tulisan inskripsi, De Eeerste Steen Geleid op 14 Augustus 1933 door Tilly Hazevoet. Yang menarik dari bangunan ini yaitu dibagian depan kiri kanan, terdapat beberapa cerukan yang berfungsi sebagai parkirnya sepeda atau kereta angin. Fungsi bangunan ini ternyata hanya sebagai gudang. Tidak jauh dari bangunan en Lauzada (nama yang penulis pilih sendiri), berdiri kokoh bangunan yang difungsikan saat ini sebagai Museum Bank Indonesia, Jln Batang Arau No. 60. Bangunan ini diperkirakan dibangun sekitar tahun 1830, karena inskripsinya sudah terhapus (dibuang ?).
            Bangunan bernilai sejarah lainnya seperti di sepanjang Jalan Kelenteng (misalnya Vihara Tri Dharma-She Hing Kiong, 1897), Jalan Pasa Batipuah (misalnya Mesjid Muhammadan, 1923), Jalan Pasa Malintang, Jalan Pasa Mudiak, Jalan Bundo Kanduang, Jalan Gereja, Jalan Ksatria, Jalan Muaro, Jalan Stasiun, Jalan Pualau Aia. Bahkan sampai ke pusat kota juga bisa ditemui bangunan bersejarah lainnya, seperti di Jalan M. Yamin (Kantor Balaikota Padang), Jalan Bagindo Aziz Chan, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Terandam (bekas rumah potong hewan) dan Jalan DR. Wahidin.
Bahkan mungkin banyak orang yang tidak tahu, kalau di Jalan A. Yani, di depan Rumah Dinas Walikota Padang, juga terdapat sebuah rumah yang pernah ditempati oleh Presiden RI pertama (1942). Waktu itu menjelang kejatuhan Belanda, Soekarno di bawa ke Padang dari Bengkulu agar jangan sampai jatuh ke tangan Jepang. Soekarno sampai di Padang pertengahan Februari 1942 dan menetap dirumah sahabatnya Dr. Woworuntu, Jln. A. Yani No. 12. Soekarno menetap di Padang hanya beberapa bulan dan banyak melakukan kegiatan politik dan pergerakan.
Seakan tak pernah lelah, dalam kesempatan lain, penulis mencoba menelusuri beberapa tempat selain kawasan kota tua. Misalnya ke Sungai Beremas, dimana berdiri megah sebuah mercusuar OS. Beremas. Dibawah mercusuar ini terdapat sebuah lorong setengah melingkar yang menghadap ke laut, dengan panjang lebih kurang 250 m. Lorong atau lobang ini dapat dilewati orang dewasa, memiliki beberapa kamar dengan dindingnya tebal dan kokoh sekali. Dibagian tengah lorong agak menjorok ke depan terdapat bekas kedudukan sebuah meriam. Menurut informasi yang diperoleh, meriam tersebut panjangnya 8 m. Meriam itu hilang sekitar tahun 1980. Tidak beberapa jauh dari mercusuar, terdapat lagi lorong dengan posisi yang sama. Ditempat ini dapat ditemui sebuah meriam dengan panjang lebih kurang 8 m. Kondisi meriam ini tergeletak dilantai, rangkaian pendukungnya sudah berserakan, diperkirakan memang sengaja dibongkar oleh tangan-tangan jahil untuk kepentingan pribadi. Meriam dengan bentuk dan ukuran yang sama dapat ditemui di sisi Gunung Padang. Lalu, apakah pihak pemerintah telah mengetahui kondisi dan potensi ini, yang jika dimaksimalkan dapat mengalahkan pamornya Lobang Jepang di Bukittingi. Atau, harus menunggu sampai potensi itu tinggal kenangan.
Di daerah Batu Busuak, dekat Kampus Unand Limau Manih, terdapat sebuah jembatan yang jauh lebih tua dari usia kota ini. Masyarakat setempat menyebutnya Jembatan Kalawi. Jembatan ini awalnya dibangun tahun 1810, setelah Belanda berkuasa diganti dengan beton dan arsitektur gaya Belanda. Di kawasan Lubuk Minturun juga terdapat sebuah bunker peninggalan Belanda. Tempat lain yang memiliki lobang atau bunker seperti di Gunung Padang, Gunung Pangilun, Bukit Napa, Bukit Batu Busuk, Bukit Teluk Bayur, kawasan lapangan pelabuhan udara Tabing (bekas pacuan kuda) yang memiliki bunker serta benteng, dan beberapa tempat lainnya.  
Hampir di sebelas kecamatan Kota Padang terdapat beragam bentuk bangunan yang memiliki corak dan arsitektur bersejarah, yang menarik untuk dikunjungi, bahkan untuk diteliti, walaupun persebarannya tidak sebanyak di kawasan kota lama. Misalnya di daerah Pauh, tidak beberapa jauh dari Jembatan Kalawi, terdapat deretan rumah berpanggung penduduk, tapi hanya beberapa rumah yang memiliki arsitektur bergonjong. Tentunya ini menimbulkan pertanyaan, apakah pada zaman dulunya pengaruh Kerajaan Minangkabau hanya bersifat kepatuhan akan sebuah mitos seperti yang dijelaskan oleh Rusli Amran dalam Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang-nya. Atau melambangkan kasta yang punya rumah pada saat itu. Bahkan di kecamatan ini pernah mucul legenda si Patai yang menjadi momok bagi Kolonial Belanda. Sepertinya Kota Padang tidak akan pernah kehabisan bahan untuk disajikan, yang disuguhkan sebagai komoditi wisata bersejarah.
Sekarang kita sampai pada pertanyaan mendasar. Sudah sejauhmanakah usaha dan hasil kerja Pemerintah Kota melalui instansi terkaitnya dalam mengangkat potensi objek wisata bersejarah, sehingga menjadi kebanggaan bersama dan pantas untuk Ku Jaga dan Ku Bela. Padahal dikota ini sangat banyak (penulis tidak mau menggunakan kata “cukup’) sumberdaya manusia dengan lebih selusin gelar dan keahlian yang berkompeten. Mereka itu diantaranya sudah ada yang mendunia dan diakui secara nasional. Lantas, apa yang menjadi kendala utamanya, sehingga kota ini sepertinya sudah kehilangan taji padahal kaya akan potensi. Sudah bukan saatnya lagi untuk berwacana karena era globalisasi sudah berada ditengah kita, walaupun memang kita sering disodorkan istilah “tidak ada kata terlambat”. Kenapa beban ini harus dipikul oleh pemerintah, bukankah konsep otonomi daerah telah memberi peluang kepada siapa saja. Jawabnya gampang saja, karena memang pemerintah-lah yang memiliki akses langsung ke arah itu, karena yang lainnya adalah pendamping utama, yang jika dilibatkan jelas akan memberikan hasil prima.
            Untuk itu, Pemerintah harus melakukan kontrol intensif terhadap pemanfaatan bangunan-bangunan tua, membuat kesepakatan yang tegas dan jelas tentang penggunaan bangunan tua bersejarah dengan pihak lain yang menggunakannya, memperjelas arah pengelolaan kawasan kota tua dan purbakala sebagai kawasan lindung, menciptakan peraturan yang memuat sanksi yang tegas terhadap pemerintah sendiri, masyarakat atau pemilik bangunan terhadap pelanggaran pelestarian, memberi tanda khusus terhadap bangunan bersejarah yang dilindungi dan dilestarikan, melakukan koordinasi lintas sektoral sehingga mampu meminmalisir aktifitas masyarakat dikawasan bersejarah, mencarikan tempat pengganti kepada pemilik yang bangunannya diambil sebagai cagar budaya sejarah, dan menetapkan master plan pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan kawasan bersejarah. Dan langkah nyata terpenting adalah segera menunjuk dan menempatkan tenaga yang handal dan berani untuk menempati posisi “mendulang emas” dibidang kepariwisataan. Lebih baik kita mengkesampingkan unsur politis, sosial, dan emosional agar hasil mereka berbeda dari kegiatan atau hasil kerja pejabat sebelumnya.
            Semoga saja kita semua tidak larut dengan wacana-wacana yang pada akhirnya membuat kita terlena. Karena kita semua berhak untuk menggugatnya.







Rabu, 13 Oktober 2010

PESONA SIRONJONG


















PULAU SIRONJONG


CANTIK NIAN SIRONJONG

Oleh :
Marshalleh Adaz

            Sepertinya tak pernah berhenti mulut ini berdecak kagum. Menengadah sambil mengagumi aneka pesona dari sebuah kota yang menjadi pusatnya suatu provinsi. Sumatera Barat. Tepatnya Kota Padang. Potensinya sangat sempurna dan serba komplit. Kota ini memiliki alam dengan gugusan perbukitan dan aliran airnya yang menganak sungai, punya pantai dengan muaranya, pulau-pulau besar dan kecil, aneka budaya beserta istiadatnya, dan jejeran aksesoris maupun kulinernya yang bervariasi. Sungguh anugerah sempurna dari Yang Kuasa.
            Kali ini, penulis mendapat kesempatan bersama Dinas Perikanan dan Kelautan (Ibu Helda) serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Bpk. Edi Dharma), dari Kota Padang, bertandang ke salah satu objek alam dan objek bahari, Pulau Sironjong. Pulau kecil yang terletak di wilayah Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Pulau ini tepatnya masuk daerah Kelurahan Sungai Pisang.
            Pulau Sironjong hanya dapat di capai jika kita menggunakan transportasi laut, yang dapat diawali dengan dua pilihan pintu masuk.
Jika Berangkat dari Muaro Padang (Batang Arau), waktu tempuhnya lebih kurang 30 menit, tempat ini sangat mudah dijangkau karena dekat dengan kota dan cukup banyak kapal kecil yang sandar di Batang Arau ini.
Jika kita masuknya dari Sungai Pisang, mungkin relatif agak lebih lama karena jaraknya dari Kota Padang lebih kurang 32 km, namun itu tidak akan melelahkan karena sepanjang perjalanan kita akan dihibur oleh pemandangan laut dan alam perbukitan. Dari Sungai Pisang ini ke Pulau Sironjong lebih kurang 25 menit.
Rentang waktu yang penulis tentukan tadi adalah waktu normal, yaitu jika cuaca dan iklim dalam kondisi stabil, tidak hujan dan angin tidak bertiup kencang. Untuk ongkos pulang pergi kita harus pandai-pandai menawar harga sewa kapal atau boat.
Penulis beserta rombongan berangkat dengan speedboat yang sandar di Batang Arau. Dengan kecepatan sedang penulis lebih leluasa menikmati pemandangan di depan mata. Gunung Padang terlihat jelas, di dekatnya terlihat seonggok batu karang, oleh masyarakat setempat disebut batu mandi. Melaju pelan ke arah barat dimana pada akhirnya kami dapat melihat Pulau Pisang Ketek dan Pisang Gadang, Pulau Sikuai, Pulau Pagang, dan Pulau Pamutusan, serta beberapa pulau kecil lainnya dikejauhan.
Boat-pun semakin pelan karena memasuki sebuah teluk. Airnya begitu tenang dan biru. Tidak sedikitpun terlihat alunan ombak dan riak air yang besar, karena memang perairan ini diapit oleh Pulau Sironjong di sebelah kiri kami dan bukit yang memanjang di sebelah kanan dimana dibalik bukit itu terdapat perkampung Sungai Pisang.
Sironjong ternyata adalah pulau kecil, dengan luas kira-kira 11,04 Ha. Pulau ini dapat juga disebut pulau bukit bercadas dengan ketinggian ± 600 m. Hamparan pasir putihnya (± 1 km), berhadapan langsung dengan teluknya yang tenang tadi. Dibelakangnya terdapat bukit batu cadas. Melihat kemiringan dinding bukit dan strukturnya, tempat ini cocok sekali untuk panjat tebing (climbing). Pulau ini pada bagian timurnya mempunyai pantai yang curam.
Banyak wacana dan nuansa wisata yang ditawarkan oleh Pulau Sironjong ini.
Teluknya yang tenang dapat kita nikmati sambil ber jet-ski­ ria, atau menggunakan perahu dayung, perahu kayuh dan sejenis kano. Alam bawah lautnya dapat kita selami sambil melihat aneka terumbu karang dan keragaman jenis ikan laut. Atau berjemur di antara kerimbunan pepohonan. Atau, seandainya saja ada kereta gantung maka kita dapat menikmati pemandangan dari kedua puncak bukit tersebut. Bahkan memacing pun bisa kita lakukan disini.
Jika saja semua itu terujud, maka disekitar lokasi atau di Pulau Sironjong itu sendiri akan bermunculan penginapan, usaha jasa, kuliner dan produktivitas lainnya, yang dapat memberi nilai tambah bagi pendapatan daerah maupun penghasilan masyarakat setempat selain nelayan.
Tentunya keinginan untuk berwisata tidak harus menunggu semua itu tercipta. Saat inipun jika kita pergi ke Sironjong, kita akan bisa melihat pondok terapung yang menyatu dengan keramba laut ikan Karapu Bebek (Cromileptes Altivelis), yang dibudidayakan untuk diekspor ke Hongkong, dengan harga Rp. 300.000/kg-nya pada saat usia ikan mencapai 10 bulan atau 1 tahun.
Cantik nian Sironjong.
Sulit dilukiskan keindahan dan keelokan pesonanya. Padang memang menawarkan pilihan wisata yang membuat kita sulit untuk memilihnya. Seharusnya kita bangga, bukannya terlena. (*)

ARE YOU REMEMBER ........ ?????

JALAN ALANG LAWEH
Tugu A.T. Raff  di Lapangan Imam Bonjol Sekarang 1938
Hampir sama dengan Bangunan Balai Kota Padang sekarang ....
Bangunan Balai Kota Padang TEMPO DOELOE
Jalan Belakang Olo Januari 1988



Kamis, 30 September 2010

GUNUNG PANGILUN

BUNKER  ......  ?????????????



GUNUNG PANGILUN

Berpotensi sebagai objek wisata bersejarah


Dahulunya Padang hanyalah kampung nelayan karena datarannya yang terletak di pesisir pantai Pulau Sumatra. Sejak abad 17, Padang mulai dilirik sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal niaga, disamping Tiku dengan potensi yang sama. Tapi karena saat itu terjadinya konflik antara penguasa setempat dengan para pendatang asing, akhirnya Kota Padang mulai mendapat perhatian utama. Kawasan Muaro Padang atau Batang Arau menjadi saksi sebagai pintu gerbang menuju daerah pedalaman dan dataran tinggi di Sumatra Barat. Sehingga hampir di sekitar wilayah ini berdirilah bangunan-bangunan yang menggambarkan fungsinya masa itu, seperti kantor perdagangan dan gudang. Bahkan di awal abad 19, terdapat sebuah stasiun kereta api yaitu Stasiun Kereta Api Pulau Aia.
Yang namanya penjajah selalu serakah dalam segala hal. Kompeni atau Belanda ternyata selalu ingin mengeruk kekayaan alam nusantara ini dan berambisi sekali memperluas daerah kekuasaannya. Waktu yang tiga setengah abad merupakan perjalanan yang sangat panjang bagi Belanda dan bangsa yang dijajahnya. Salah satu warisan peninggalan Belanda adalah bangunan-bangunan perniagaan dan pertahanan, yang sebagian besar masih ada sampai sekarang.

Sebelumnya mari kita lihat satu tempat yang mungkin saja tidak banyak orang yang tahu, bahwasanya Kota Padang tidak saja memiliki meriam seperti di benteng Jepang Gunung Padang (panjang ± 8 meter), tapi juga terdapat di Sei. Beremas. Tepatnya bersebelahan dengan Mercusuar OS. Beremas (Bukit Lampu). Ditempat ini terdapat sebuah meriam dengan ukuran yang sama. 
Meriam tersebut tergeletak begitu saja diatas tanah, sedang perangkat lainnya sudah berserakan dan ada yang hilang oleh tangah-tangan yang tidak tahu artinya sejarah. Dibawah mercusuar itu sendiri memang terdapat sebuah benteng, namun meriamnya sudah hilang dan hanya tinggal kedudukannya saja. Posisi kedua benteng tersebut sama-sama menghadap ke laut dan memiliki lorong ± 250 meter. 

Belanda atau Jepang memang sudah merencanakan untuk menguasai Kota Padang dan sekitarnya secara menyeluruh, walaupun untuk itu harus menghadapi perlawanan yang gigih dan melelahkan dari para pejuang. Sehingga dapat dipastikan, hampir disetiap tempat di sebelas kecamatan Kota Padang ini dapat ditemukan bangunan-bangunan yang berguna untuk pertahanan atau penyerangan. Jika saja kita mengikuti pola pikirnya penjajah, dimana benteng di Mercusuar OS. Beremas berfungsi mengawasi kawasan perairan Teluk Bayur dan sekitarnya, kemudian benteng di Gunung Padang untuk menghadapi datangnya musuh yang akan masuk melalui Muaro Padang atau sekitar Pantai Air Manis, tentunya mereka ingin juga mendirikan sebuah benteng yang dapat mengamati hampir seluruh wilayah pedalaman dan pesisir pantai Padang.
Tertarik akan asumsi ini, penulis hanya melihat bahwa Gunung Pangilun-lah daerah yang tepat untuk itu. Penulis kemudian mulai mencari informasi untuk membuktikan kebenaran dugaan ini. Ternyata memang betul adanya, Gunung Pangilun tidak saja berfungsi sebagai jalurnya evakuasi Tsunami tapi juga memiliki lorong-lorong yang sangat panjang layaknya sebuah benteng, bahkan mungkin melebihi Mercusuar OS. Bremas dan Gunung Padang. Penulis-pun bertemu dengan beberapa orang penduduk setempat yang pernah masuk ke dalam lorong tersebut dan mengetahui banyak sedikitnya hal ikhwal tentang gunung ini. Nama gunung diambil dari nama orang, yang konon dulunya sangat disegani serta dihormati, bahkan ada yang beranggapan Nenek Pangilun terkenal Sakti. Menurut kabar nenek ini dimakamkan disalah satu puncak gunung ini (terdiri dari tiga bukit kecil yang berbaris). Sehingganya sejak saat itu disebut Gunung Pangilun. 
Gunung Pangilun sebelumnya disebut juga Gunung Senteong dan Gunung Ledang, atau nama-nama dari tiga gugusan gunung ini. Gunung Pangilun bukanlah gunung dalam arti sebenarnya, hanya saja masyarakat setempat telah terbiasa menyebut gunung daripada Bukit Pangilun. Berdasarkan informasi yang diperoleh, digunung ini terdapat lubang dan benteng, yang kesemuanya berfungsi untuk penyerangan, pertahanan, atau tempat tinggal. 
Diasumsikan, didalam tiga rangkaian gunung kecil ini terdapat terowongan yang saling berhubungan. Untuk membuktikan dugaan tersebut, pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2008, pukul 10.00 Wib. Penulis ditemani oleh Ayah (pernah memasuki salah satu lubang) dan Eri (pemuda setempat), mulai menaiki salah satu sisi bukit. Penulis kemudian menemukan lubang dengan tinggi ± 1,5 meter yang berlorong dengan lebar ± 1 meter yang mengarah ke perut gunung. Menurut informasi, panjang terowongan ini mungkin ± 2,5 km, yang memiliki beberapa kamar disepanjang lubangnya. Karena keterbatasan alat dan waktu, penulis hanya melihat dari mulut lubang saja. 
Ditempat terpisah, yaitu di lereng gunung lain, ditemukan bangunan berbentuk benteng kecil. Pada bagian luarnya terdapat celah kecil yang berfungsi untuk mengintai dan menembak. Posisi benteng kecil ini mengarah kebagian barat (mungkin untuk musuh dari arah laut atau darat) dan timur untuk bagian pedalaman. Bangunan dengan fungsi yang sama juga penulis temukan ditempat lain. Sepertinya benteng atau pos kecil ini mengelilingi gunung ini. Jarak antar pos tersebut ± 500 m. Hampir setiap benteng tersebut terdapat lorong dengan tinggi ± 1,5 meter dan lebar ± 1 meter yang mengarah ke perut gunung. Hanya saja jalan ke arah ini ada yang tertimbun oleh tanah dan ada yang sengaja ditutup. Dinding lorong atau pos terbuat dari beton dan permanen.
Penulis kemudian melanjutkan penelusuran ke salah satu puncak Gunung Pangilun ini. Dibagian puncak ini terdapat sebuah wadah berbentuk kolam atau penampungan air hujan. Dimana disalah satu ujungnya terdapat saluran kecil yang mengarah kebagian bawah gunung. Tidak beberapa jauh dari wadah itu terdapat lagi bangunan kecil bundar tapi tidak memiliki jendela atau ventilasi, hanya sebuah jalan masuk dari tanah. Sementara itu, persis dibelakang Kantor Lurah Tabing Banda Gadang ditemukan lubang yang sudah ditutupi tanaman penduduk setempat, menurut iformasi, lorongnya tembus sampai ke belakang Kantor BKMM (Balai Kesehatan Mata Masyarakat). Masih banyak sisi bukit lain yang belum penulis telusuri karena hari keburu senja. Penelusuran hari ini telah memberikan gambaran yang jelas bahwasanya Gunung Pangilun pada waktu dulunya bukan saja berfungsi sebagai pengintaian, penyerangan dan pertahanan, bahkan lebih dari sekedar benteng biasa. Berkemungkinan sekali gunung ini dijadikan sebagai bunker atau tempat tinggal oleh Belanda atau Jepang. Hal ini dibuktikan dengan adanya aliran air dari atas menuju keberapa bagian bawah gunung. Bahkan ada informasi yang menyebutkan bahwa mobil (jeep) bisa sampai ke atas, dan terdapat tanah lapang yang cukup luas. Disamping itu juga ada beberapa kamar saling berhadapan diantara jalur terowongan.
Jika dikaitkan dengan letak gunung tidak jauh dari pusat kota, asumsi Gunung Pangilun adalah benteng sekaligus bunker dapat diterima. Apalagi satu-satunya gunung (bukit) yang terpisah (berdiri sendiri) dari gugusan Gunung Padang di Muaro Padang adalah Gunung Pangilun. Sehingga tidak salah kalau Belanda atau Jepang melirik gunung ini potensial sekali dijadikan benteng sekaligus tempat tinggal untuk sementara waktu.
Penulis hanya bisa menghela nafas panjang, karena kita kembali dihadapkan pada ketidakberdayaan yang selalu berakar dari kurangnya perhatian dan minat kita terhadap peninggalaan pendahulu kita. Sekiranya apa yang penulis temukan sekarang hanya akan menjadi wacana, maka kita kembali kehilangan bukti sejarah lahirnya sebuah kota.Diperlukan usaha dan upaya yang serius dan berkesinambungan untuk menggali potensi ini, sehingga Gunung Pangilun dapat dijadikan objek wisata bersejarah, atau bisa saja menjadi For de Cock-nya Padang.
Semoga jejak sejarah dikota ini tidak hilang ditelan waktu dan kepentingan pembangunan, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pendahulunya. MR. ADAZ

SEJARAH KOTA PADANG

Asal Usul Kota Padang
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”Padang” berarti suatu tanah yang datar dan luas, atau lapangan luas. Kondisi tersebut menjadi inspirasi bagi lahirnya nama kota Padang. Secara topografi kota Padang merupakan dataran rendah yang dikelilingi bukit-bukit yang tidak begitu tinggi. Di kota ini bermuara dua buah sungai  yaitu Batang Kuranji dan Batang Arau.
            Pada Abad ke-14 (1340—1375) di Minangkabau ada sebuah kerajaan dibawah pemerintahan Adityawarman. Pada masa itu wilayah Padang cuma dikenal sebagai kampung nelayan, orang menyebutnya Kampung Batung. Ke-tika itu Padang diperintah oleh Penghulu Delapan Suku dengan sistim pemerintahan nagari.
            Sekitar abad ke-15 dan 16 kerajaan Aceh dibawah pemerintahan Iskandar Muda meluaskan wilayah ke-kuasaan dan perdagangannya sampai ke pesisir pantai barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman, dan  Indrapura. Padang sebagai daerah pantai masa itu telah disinggahi oleh pedagang–pedagang dari daerah lain yang akan terus  ke Aceh. 
            Akhir abad ke-16 masa jaya Kerajaan Aceh mulai turun, daerah-daerah yang dikuasai kerajaan Aceh mulai melepaskan diri, dan pada waktu bersamaan di nusantara ini mulai beroperasi perusahaan dagang Belanda,  di-kenal dengan nama VOC (Verenigde Ost Indisehe Company). VOC menerapkan politik devide at impera (pecah belah) dalam perluasan perdagangan dan kekuasaannya. Akibatnya timbul ketegangan masyarakat di kota-kota pesisir pantai Sumatera. Kerajaan Aceh dipropaganda oleh VOC seolah akan menguasai Padang. VOC berdalih membantu masyarakat menghadapi Aceh.
            VOC menyadari dan melihat Padang sangat strategis dan dijadikan pusat perdagangan dan pe-merintahan. Pulau Cingkuak, dan Batang Arau lebih baik dijadikan sebagai daerah pelabuhan. Melalui penghulu terkemuka Padang yang bernama Orang Kayo Kaciak VOC dapat izin mendirikan loji pertama pada tahun 1667 di kota Padang.

Inilah titik awal Padang tumbuh se-bagai sebuah kota. Tidak cuma sebagai pelabuhan tetapi ju-ga sebagai pusat perdagangan. Gudang-gudang besar mulai dibangun untuk tempat pengumpulan barang. Pelabuhan Muara begitu sibuk melayani arus perdagangan, sehingga wilayah ini tumbuh menjadi pusat pemukiman.
            Belanda tidak saja meluaskan perdagangannya melalui VOC, tetapi mulai dapat memerintah masyarakat. Dari Muara Padang ini pusat pemerintahan dan per-dagangan Belanda digerakkan ke seluruh pelosok Sumatera bagian tengah.
            Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan dikalangan rakyat. Rakyat merasakan bahwa Belanda tidak lagi berdagang, tetapi sudah menjajah. Rakyat mulai melakukan perlawanan. Puncaknya terjadi pada tanggal 7 Agustus tahun 1669 di mana masyarakat Pauh dan Koto Tangah berhasil menguasai loji-loji Belanda di Muara serta banyaknya Belanda yang dibunuh. Peristiwa ini kemudian diabadikan sebagai tahun kelahiran Kota Padang. Setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi kota Padang.
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
            Pada tahun 2006 ini kota Padang telah berusia 337 tahun, persisnya tanggal 7 Agustus 1669 - 7 Agustus 2006. Berbagai bentuk pembangunan dilaksanakan. Derap langkah pembangunan terus dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan warga. Padang sedang berbenah diri untuk menjadi kota industri, kota perdagangan dan kota pariwisata.
            Saat ini Padang sudah termasuk kota besar. Potensi dan letaknya yang strategis menjadikan Padang sebagai pintu gerbang wilayah barat pulau Sumatera. Posisi yang strategis itu mengakibatkan pertumbuhan dan perkem-bangan kota berlangsung cepat. Tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan Padang sebagai ”titik simpul” bagi per-tumbuhan dan perkembangan Indonesia di wilayah Barat Sumatera, apalagi sarana dan prasarana lalu lintas darat, laut dan udara semakin memadai.
            Visi Kota Padang yaitu ”Terwujudnya Kota Padang sebagai pusat perekonomian dan pintu gerbang per-dagangan terpenting di Indonesia bagian Barat  tahun 2008”. Hal ini dapat diwujudkan karena Padang memiliki  cukup banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia.
            Faktor yang mendorong Kota Padang sebagai pusat perdagangan adalah karena di daerah sekitarnya ter-dapat hasil bumi dan hasil tambang yang strategis yang diharapkan dapat dipasarkan melalui kota Padang, ter-utama wilayah bagian barat pulau Sumatera.
            Dalam lima tahun terakhir perdagangan berskala besar, menengah dan kecil menunjukkan perkembangan yang megembirakan. Hal ini dapat dilihat dari fakta yang ada dengan meningkatnya jumlah perusahaan per-dagangan dari 24.500 tahun 2002 menjadi 27.132 pada tahun 2005. Hal ini juga didukung dengan dibangunnya pusat-pusat perdagangan serta terus dikembangkannya  pasar-pasar yang telah ada.
Pemerintahan
            Dalam perjalanan seja-rahnya, pemerintahan di Kota Padang mengalami pasang surut.  Hal ini dimulai dari zaman Belanda, Jepang dan Pro-klamasi kemerdekaan RI. Di za-man Belanda (VOC) di samping sebagai sebuah kam-pung nelayan Padang juga sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Waktu itu Batang Arau merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera.
            Pada masa VOC daerah ini berada dalam Onmder afde link Conterliur Van Padang dibawah lingkungan kekuasaan Pejabat Bumi Putra Regen Padang. Sehingga Padang memiliki dua fungsi, sebagai pusat perdagangan dan pusat kegiatan penjajah Belanda. Padang bahkan dijadikan daerah kedudukan residen atau kepala pemerintahan untuk daerah Sumatera barat.
            Setelah kemerdekaan diproklamirkan, Padang seba-gai sebuah wilayah tetap setia berada dibawah pe-merintahan RI. Melalui ketetapan Gubernur Sumatera Barat tanggal 17 Mei 1946 No 103 Padang ditetapkan menjadi kota besar.
            Walikota Padang pertama adalah, Mr.Abubakar Ja’ar (1945—1946), menjabat beberapa bulan saja. Mr Abubakar Ja’ar dipindahkan menjadi residen di Sumatera Timur. Selanjutnya Padang dipimpin oleh Bagindo Aziz Chan (1946-1947) yang dikenal sebagai Walikota Pejuang. Beliau gugur tanggal 17 Juli 1947 di tangan penjajah Belanda. 
            Setelah Bagindo Aziz Chan gugur, Belanda me-lakukan agresi I, akibatnya secara de fakto Belanda menguasai Padang. Untuk itu pemerintahan kota Padang dipindahkan ke Padangpanjang dengan walikotanya Said Rasyad (1947). Pemerintahan Said Rasyad berlangsung tidak lama karena timbulnya agresi ke II. Walikota berikutnya adalah Dr.A.Hakim (1947—1949) dan me-merintah tidak terlalu lama. Setelah pemulihan kedaulatan RI tahun 1949 Padang dipimpin oleh  Dr. Rasyiddin sebagai walikota yang ke lima (1949-1956 )
            Melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 No 65/GP-50 ditetapkan pemerintahan kota Padang sebagai suatu daerah otonom.
            Walikota keenam (1956—1958), Pada tahun 1958-1966 Padang dipimpin oleh Z.A.St.Pangeran sebagai walikota ke tujuh. Berikunya walikota Padang adalah Drs. Azhari sebagai walikota ke delapan dan pada tahun 1967-1971 Padang dipimpin oleh Drs.Achirul Yahya yang merupakan Walikota ke sembilan
            Dengan keluarnya UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, kota Padang di samping daerah otonom ,juga merupakan wilayah administratif  dikepalai oleh seorang walikota dan waktu itu diangkat sebagai walikota Padang ke sepuluh adalah Drs. Hasan Basri Durin (1971—1983). Sesuai dengan PP No. 17 Tahun 1980 Padang diperluas menjadi 694,96 Km2 terdiri dari 11 kecamatan dengan 193 kelurahan.
            Setelah Drs. Hasan Basri Durin selesai melaksanakan tugasnya sebagai walikota Padang, maka diangkatlah Syahrul Ujud,SH sebagai Walikota Kota Padang kesebelas dengan kepemimpinannya selama sepuluh tahun (1983—1993). Berakhirnya kepemimpinan Syahrul Ujud, SH tongkat estafet kepemimpinan kota Padang diserahkan kepada Drs. Zuiyen Rais, MS (1993—2003) yang merupakan Walikota Padang ke dua belas. Sejak 2003 sampai sekarang, dua kali periode, Walikota Padang adalah Drs. Fauzi Bahar, Msi, walikota ke-13 dan ke-14. (MR. ADAZ)
 

Kawasan dan Aktivitas di Teluk Bayur = Emmahaven

aWal abad 19



Kawasan dan Aktivitas di Batang Arau

aWAL abad 19


BANDAR LAMA


KEBERADAANNYA  DI PADANG


A.    Latar Belakang munculnya Bandar
            Kota Padang merupakan Ibu Kota Propinsi Sumatera Barat. Kota ini sebelumnya terdiri dari rangkaian daerah-daerah pesisir Kerajaan Minangkabau, yang disebut juga Daerah Rantau. Padang juga merupakan bandar sekaligus pintu gerbang bagi daerah pedalaman seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan Painan yang terletak di pesisir pantai bagian barat Sumatera.
            Abad ke 14 dan 15, Padang dikenal sebagai Kampung Nelayan. Pada masa itu Padang berada di bawah Kerajaan Aceh Padang (Sultan Iskandar Muda) dengan daerah taklukan Tiku, Pariaman, Indrapura. Padang saat itu sebagai daerah transit karena disinggahi oleh pedagang-pedagang Tiku, Pariaman dan daerah lainnya untuk terus ke Aceh. Namun Padang saat itu belum sebesar Pariaman. Hal ini disebabkan karena Pariaman dijadikan tempat kedudukan panglima yang diangkat oleh raja Aceh untuk daerah pesisir Sumatera.
            Abad ke 16 dan 17, hampir semua daerah kekuasaan Aceh ingin melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Aceh. Pada saat yang bersamaan, di Indonesia pada umumnya termasuk Minangkabau, telah mulai pula beroperasi Perusahaan Dagang Belanda yang dikenal dengan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Timbulnya ketegangan antara kota-kota pesisir pantai barat Sumatera dengan Kerajaan Aceh merupakan peluang bagi VOC untuk melaksanakan Politik Adu Domba-nya, yaitu dengan dalih membantu daerah-daerah pesisir menghadapi Kerajaan Aceh. Sehingga pada tahun 1667 dan 1670 (setelah dua kali pembakaran loji akibat sabotase penduduk) Belanda atau VOC diberi izin mendirikan loji di Pulau Cingkuak Kabupaten Pesisir Selatan. Untuk memperluas wilayahnya, VOC melihat Padang sangat strategis untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan dibandingkan Pulau Cingkuak, hal ini disebabkan pelabuhan yang melalui Batang Arau lebik baik keadaannya dari Pulau Cingkuak. Untuk menjamin kekuasaannya, Belanda mengangkat Orang Kayo Kaciak (Penghulu terkemuka di Padang) sebagai Penguasa Padang tanggal 18 September 1667.  Mulai saat itu Padang akhirnya tumbuh menjadi daerah kota, karena telah merupakan:
1.      Daerah pusat perdagangan, baik dengan daerah pedalaman Minangkabau maupun dengan dunia luar.
2.      Daerah Bandar atau pelabuhan dari dan ke Minangkabau (pedalaman).
3.      Pusat kediaman, baik oleh bangsa Belanda, bangsa asing lainnya maupun pendatang dari daerah lain.
            Abad ke-18, Padang adalah sebuah kota Metropolitan di pulau Sumatera baik sebagai pusat pemerintahan, pusat pertahanan militer dan sentra perdagangan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari Asia, Eropah terutama Belanda, Inggris dan Portugis. Saat itu pelabuhan yang digunakan adalah Muaro dengan fasilitas terbatas. Kapal-kapal besar umumnya tidak dapat merapat ke Muaro, tetapi berlabuh di Pulau Pisang Gadang. Untuk inilah Belanda sengaja membangun dermaga di Pulau Pisang Gadang sebagai pelabuhan transit. Selanjutnya orang atau barang-barang dibawa ke Muaro dengan sampan besar yang dikayuh oleh 12 orang yang kemudian berkembang dengan penggunaan kapal uap kecil. Belanda juga pernah berkeinginan membangun dermaga di Air Manis tapi terhalang dengan sulitnya membuat jalan melalui Bukit Air Manis yang cukup tinggi. Setelah melakukan penelitian, maka tahun 1888—1895 dibangunlah Pelabuhan Teluk Bayur. Pembangunan ini dikerjakan oleh Ir. JP. Yzerman, oleh Belanda pelabuhan ini diberi nama Emma Haven. Tahun 1892 Pelabuhan Teluk Bayur resmi dibuka bersamaan dengan dibukanya trayek kereta api Padang—Sawahlunto (daerah tambang batu bara).
B.     Keberadaan Dua Pelabuhan: Batang Arau dan Teluk Bayur
            Hingga akhir abad ke-18, wilayah Kota Padang hanya sekitar Batang Arau, Kampung Cina, Pasar Gadang atau Pasar Hilir, Pasar Mudik, Palinggam dan daerah pinggir laut. Sisanya merupakan hutan dan tanah rawa. Batang Arau atau disebut juga Sungai Padang memiliki panjang 25 km, yaitu dari muara sampai ke hulunya di Bukit Barisan. Tepian sungai sebelah kanan atau utara merupakan daerah datar dan sebelah selatan sungai merupakan daerah perbukitan (tinggi 322 m) yang sebenarnya merupakan kaki pegunungan Bukit Barisan.
            Walaupun kegiatan perdagangan terjadi di daerah sekitar muara Batang Arau, namun kapal-kapal yang relatif berukuran besar tidak dapat berlabuh di Batang Arau, kecuali perahu, biduk dan kapal berukuran kecil, seperti telah dikemukakan sebelumnya. Dengan kata lain, Batang Arau merupakan gerbang untuk berbagai komunitas dan aktifitas. Sehingga, bermunculanlah bangunan atau kantor, seperti:
-          Loji VOC (bagian timur penjara lama)
-          Penginapan Hotel Padang (simpang Jalan Nipah, berbelok ke kiri arah ke muara)
-          Hotel Sumatera (Penjara sekarang)
-          Gedung milik N.H.M atau Nederlandsch Handels Maatschappy (dekat Muara, tepi Batang Arau arah ke timur), dan beberapa kantor-kantor dagang swasta lainnya
-          Tugu Ir. De Greve, penemu tambang batu bara Sawahlunto (SPBU sekarang)
-          dan beberapa bangunan lainnya.
            Batang Arau yang akhirnya disebut Pelabuhan Muaro sampai abad ke-19 masih berperan sebagai pintu transit baik ke dalam maupun ke luar Padang dan sekitarnya. Sampai sekarang kapal yang sering singgah adalah kapal dengan tujuan Mentawai dan kapal-kapal dengan tujuan pulau lainnya, disamping kapal penangkap ikan karena dipelabuhan ini terdapat kantor perikanan. Sebagai alternatif untuk mempermudah transportasi lewat laut, maka dibukalah alternatif lain, yaitu Emma Haven. Pelabuhan ini sejak mulai diresmikan berfungsi sebagai lalu lintas perdagangan dan orang dari dan ke Pulau Jawa atau Eropa, dan juga sebagai lalu lintas militer akibat makin berkecamuknya perang perlawanan rakyat daerah Sumatera Barat dan sekitarnya. Pada dasarnya Emmahaven dibangun sebagai akibat meningkatnya eksploitasi batu bara yang pada akhirnya menuntut Padang dijadikan sebagai stasiun batu bara. Sehingga dibangunlah jaringan jalan kereta api, yang selesai tahun 1896 (jalur rel utama sudah siap sejak tahun 1892). Nama Emmahaven di ambil dari nama Ibu Suri Kerajaan Belanda. Tidak diperoleh tanggal dan bulan diresmikannya Emmahaven, baik dari buku maupun kepustakaan lainnya.
            Dengan berfungsinya pelabuhan Emmahaven, maka lalu lintas perdagangan dan orang semakin ramai dan perkembangan Kota Padang pun meningkat terus baik sebagai pusat pemerintahan dan militer maupun sebagai kota pardagangan. Akibatnya, kegiatan bongkar muat di pelabuhan Muaro menjadi berkurang dan hanya untuk menampung kapal-kapal kecil saja. Namun sebagai pusat kota dimana terkonsentrasinya kegiatan perkantoran dan perdagangan, kondisi kawasan ini tetap tidak berobah bahkan semakin berkembang dengan dibangunnya pasar-pasar seperti Pasar Mudik, Pasar Tanah Kongsi dan Pasar Kampung Jawa. Setelah kemerdekaan pelabuhan Emmahaven berganti nama menjadi Teluk Bayur.
            Secara makro, pelabuhan Teluk Bayur berperan aktif dalam mendukung pembangunan Propinsi Sumatera Barat dan daerah sekitarnya, sedangkan secara mikro berperan sebagai penunjang ekonomi regional Sumatera Barat. Beberapa catatan yang perlu diketahui sehubungan pembangunan dan pengembangan Pelabuhan Teluk Bayur, antara lain:
1.      Pembangunan dan pengembangan fasilitas yang dimulai sejak bulan Oktober 1987 hingga Maret 1992 dalam rangka Proyek FNPDP (First National Port Development Project) yang dibiayai dengan pinjaman Bank Dunia dan DIP (Pelita), dengan hasil:
a.       Penggantian Dermaga kayu II,III dan IV menjadi dermaga beton sepanjang 415 m.
b.      Renovasi gudang 102, 103 dan 104 seluas 6.000 m2.
c.       Pembangunan dermaga multipurpose sepanjang 222 m yang dapat melayani kapal kontainer.
d.      Pembangunan Container Freight Station seluas 5.250 m2 dan Lapangan Penumpukan Container seluas 39.075 m2.
e.       Pengerukan kolam pelabuhan dengan kedalaman laut 10 m lws.
f.       Peningkatan dan rehabilitasi jalan, instalasi air dan penerangan.
2.      Ekspor perdana dengan Kapal Hoegh Clipper ke Amerika.
C.    Penutup
            Membicarakan latar belakang atau keberadaan bandar terutama di Kota Padang, tak terlepas dari aspek yang memberi dukungan terciptanya bandar itu sendiri sebagai lokasi atau wilayah yang menghimpun aneka komunitas. Batang Arau dan Emmahaven, yang berganti nama menjadi Pelabuhan Muaro dan Pelabuhan Teluk Bayur merupakan salah hasil akibat adanya kepentingan untuk hidup dan kehidupan, baik dulu maupun sekarang.
Padang

MR. ADAZ
Disadur dan dikutip dari berbagai sumber kepustakaan :
Sofwan, Mardanas dkk, Sejarah Kota Padang, Padang 1987.
Pemda Tingkat II Kotamadya Padang dan PT Buana Lestasi, 326 Tahun Padang Kota Tercinta 7 Agustus 1969—7 Agustus 1995, Padang 1995.
_______________ Padang Kota Tercinta, Padang 1973.
_______________ Memori Pelaksanaan Tugas Walikotamadya K.D.H. Tingkat II Padang, H. Syahrul Udjud, SH. 1983—1993. Padang 1993.
Colombijn, Freek - Tim BWSB, Paco-Paco (Kota) Padang – Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada Abad Kedua Puluh dan Penggunaan Ruang Kota, Leiden 1994.