Selasa, 25 Januari 2011

KOTA KU ......


MASIH PERLUKAH KOTA TUA ?


OLEH : MARSHALLEH ADAZ
            Hanya dalam rentang waktu tidak lama, Pemerintah Kota Padang menunjukkan kesungguhannya untuk menyelamatkan dan melestarikan bangunan tua bernilai sejarah yang terdapat di kota ini. Kesungguhan niat tersebut dibuktikan melalui kegiatan seminar dan workshop pada tanggal 13—15 Desember 2010 dan 6—7 Januari 2011, berlangsung di Lapau Gadang (Museum) Bank Indonesia Jl. Batang Arau No. 60 (dekat Jembatan Siti Nurbaya).
            Memang tidak ada kata terlambat. Rencana penyelamatan bangunan kolonial atau bangunan tua bernilai sejarah di sepanjang Batang Arau, Pasa Gadang, Pasa Batipuh, Pasa Mudik, Pasa Malintang dan beberapa lainnya di Kota Padang, adalah wacana yang telah mengapung cukup lama. Sebut saja misalnya BP3 Batusangkar, BPPI Sumbar, BKNST Padang, Arkenas, penelitian dari perguruan tinggi, atau lembaga terkait lainnya, telah terlalu sering meninjau langsung bangunan yang ada disekitar kawasan tersebut, dengan hasil memberikan solusi konservasi berikut rancangan tindak lanjut, yang tentu saja disampaikan ke Pemerintah Kota Padang. Namun karena keterbatasan dana yang besar untuk rehabilitasi atau ”kurang beraninya” Pemko, akhirnya berbagai rencana dan proposal tersebut hanya menumpuk di atas meja.
            Mungkin saja lain dulu lain pula sekarang. Di lintas vertikal maupun horizontal kesadaran untuk menyelamatkan bukti sejarah yang tersisa itu mulai tumbuh dan menggelora sebagai tanggung jawab bersama.
Bulan Desember 2010 diadakan Seminar dan Workshop Rekonstruksi dan Rehabilitasi Bangunan Cagar Budaya Pasca Gempa Sumatera Barat, dengan peserta dan narasumber dari Dirjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Budaya dan Pariwisata, Kementerian PU, UNESCO – Jakarta, NRICP Tokyo, Ahli Geologi UGM, dan instansi/lembaga di Sumatera Barat. Kemudian pada kesempatan kedua, Januari 2011 di tempat yang sama, hadir secara spesial para ahli bangunan tua dari Jepang (NRICP-Tokyo). Dua momentum ini semakin memantapkan keyakinan kita bahwa bangunan tua bersejarah di Kota Padang perlu segera di selamatkan.
            SK Walikota Padang Nomor 03 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Penempatan Bangunan Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kota Padang merupakan benih yang semestinya sudah disemaikan, dan saat ini kita sedang memetik hasilnya. Namun apa hendak dikata, perbaikan stuktur dan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan lebih dominan  sehingga membuat kita terlena dan sepertinya mengabaikan pelestarian.
Dan kembali takdir tak bisa ditebak, gempa 30 September 2009 telah meluluhlantakan  Padang, Padang Pariaman, Pariaman, Pasaman dan Agam. Bagi Kota Padang ternyata sengsara membawa nikmat. Menyaksikan dan melihat satu per satu bangunan lama yang rusak dan hancur, menyentakkan lamunan semua orang. Jika binasa, bukti sejarah apalagi untuk generasi berikutnya. Jika rusak, pesan apalagi yang dapat disampaikan bahwa beginilah kota ku doeloe-nya. Seperti dua sisi mata uang; reruntuhan bangunan tua membuat mereka yang menghargai nilai sejarah harus meratapi ketidakberdayaan atas kuasa alam ini dan kembali mengkaji konsep awal, namun bagi mereka pemilik bangunan tua bisa jadi jalan mulus pun terbentang untuk menghancurkan dan mendirikan bangunan yang lebih modern.
            Seberapa besarnya uji ambisi untuk menjaga kota tua agar tetap lestari dapat di evaluasi melalui lintasan sejarah dan kondisi geografis dimana bangunan bersejarah itu berada. Untuk Kota Padang saja, antara sejarah dan kondisi geografis adalah kembar siam yang tidak bisa dipisahkan. Dimulai dari tahun 1696, 1763, 1770, 1797, 1833, 1864, dan 1892,  kawasan pantai bagian barat pulau Sumatera pernah terjadi gempa. Beberapa diantaranya pernah menimbulkan gempa besar dan tsunami, seperti tahun 1696 dan 1797 yang menghancurkan Kota Padang, bahkan beberapa perahu yang tertambat di Muaro Padang sampai terlempar ratusan meter ke arah daratan. Oleh beberapa para ahli sejarah, kronologis ini menyebabkan masyarakat Kota Padang arif dengan kondisi tersebut, sehingga tidak salah jika jauh ke arah daratan dapat ditemui bangunan-bangunan tua. Sedangkan bagi yang memilih tinggal dekat dengan laut mendirikan bangunan berpanggung untuk menghindari banjir, atau konstruksi bangunan yang lebih kuat agar tahan gempa.
            Beberapa penelitian ahli geologi, meteorologi dan  geofisika, baik dalam maupun luar negeri, sependapat jika pesisir Padang atau sebagian besar Kota Padang berada pada jalur lempeng dan palung samudra yang diakumulasikan sebagai sumber gempa bumi, yang terkenal dengan patahan semangka-nya. Jika letupannya di laut maka berpotensi tsunami dan jika pergeserannya ke daratan akan menimbulkan gempa tektonik yang dapat saja memicu aktifnya vulkanik. Kondisi ini memang telah terbukti menghasilkan bencana.
Gempa tahun 2009 walau tanpa tsunami dapat menjawab realisasi teori tersebut. Sebanyak 1.117 jiwa meninggal dunia, 114.797 rumah dan bangunan rusak berat, dan aktivitas kota lumpuh saat itu juga. Termasuk di dalamnya sebanyak 46 bangunan cagar budaya (dari 73 SK Wako 3/98) mengalami rusa sedang dan parah.
Beberapa penelitian dan survey oleh beberapa lembaga yang peduli akan nasib peninggalan bersejarah, baik dalam dan luar negeri, dapat menyimpulkan bahwa keberadaan bangunan tua di Kota Padang hampir berada pada status punah. Bahkan mungkin tidak berarti sama sekali sebelum adanya bencana gempa ini, yang telah mengalami perubahan fisik, material dan warna. Untuk kondisi; 169 (59%) mengalami rusak berat, 46 (16%) rusak sedang, dan 72 (25%) rusak ringan. Perbaikan pasca gempa; 39 (14%) sudah diperbaiki, 44 (15%) diperbaiki dan mengalami perubahan, dan 205 (71%) tidak diperbaiki sama sekali. Dan untuk peralihan fungsi; 88 % digunakan untuk perdagangan, 14 % institusi, dan sisanya sebagai tempat tinggal, fasilitas umum dan indsutri. Bagi pemilik atau penghuni yang tidak melakukan perbaikan, hal ini karena tidak adanya biaya sehingga cenderung menunggu dana gempa yang tidak seberapa.
Hasil analisa SWOT tim tersebut dengan tegas menyatakan bahwa; banyak bangunan berubah fungsi, tidak terawat dengan baik, rumah walet, bangunan baru yang tidak kontekstual, Infrastruktur yang kurang memadai, polusi Batang Arau, fasilitas wisata yang kurang terkelola, dan tidak tertatanya PKL. Berbanding terbalik dengan harapan yang nyata bahwa; memang di klaim sebagai kawasan awal pertumbuhan kota Padang, masih terdapatnya koleksi bangunan kolonial, India, China, dan rumah Padang lama, potensi Batang Arau sebagai wisata air dan pelabuhan, pusat gudang penyimpanan barang, dan keragaman budaya yang masih ada.
Diatas kertas dan teoritis memang harus ada beberapa sikap dan tindakan, seperti; tindakan perlindungan preservasi kawasan bersejarah, penguatan struktur pengelolaan oleh pemerintah, persamaan persepsi positif segala lini dan lapisan, kontinuitas survei dan penelitian, dan ketegasan hitam diatas putih oleh pengambil keputusan. Namun sekuatnya mendayung, selalu terbentur pada masalah pendanaan, tentang siapa yang akan menanggulanginya, bentuk imbalan kepada donatur, dan bahkan perebutan kepentingan jika dana itu telah tersedia. Padahal semua orang tahu, anggaran pembangunan pemerintah akan semakin terbatas jika hanya digunakan untuk konservasi.
Kondisi ini-lah yang kemudian melahirkan pemikiran perlunya campur tangan bantuan lembaga konservasi negara lain, seperti Belanda dan Jepang yang telah berhasil menyelamatkan benda cagar budayanya akibat bencana.
Masih perlukah kota tua.
Jika seandainya bantuan itu datang dalam bentuk pinjaman atau penawaran, kesepakatan apakah yang mesti disepakati. Mungkin dengan pertanyaan ”perlukah” ini, diperlukan kebijakan yang lebih bijak, keputusan yang tepat dan penetapan sistem yang transparan.
Jika memang ”Kawasan Kota Lama” akan dijadikan  landmark atau icon-nya Kota Padang, maka ”Kota Tua” harus segera diselamatkan, menghentikan pembongkaran bangunan yang sedang berlangsung, me-wajibkan pemilik bangunan untuk membangun ke bentuk semula, memberikan tindakan tegas karena sebelumnya telah ada imbauan kepada pemilik bangunan cagar budaya, dan hentikan segera tarik ulur kepentingan diatas lahan kota lama. Jika memang ”Kota Tua” adalah sebuah koridor etalasenya Padang Kota Lama, maka langkah konkrit untuk itu adalah realisasi segera rumusan hasil penelitian seminar dan workshop yang baru saja dilaksanakan. Jangan lagi membuat wacana dan konsep baru yang akhirnya akan membuahkan tambal sulam rencana, yang justru semakin memperpanjang jalan pemulihan. Karena kondisi fisik bangunan yang ada sekarang tidak akan mampu bertahan kalau harus menunggu kajian demi kajian lagi.

KAMPUNG NELAYAN

PORT FACE BY PADANG C.W. AFTER MIELING H.J.J.L. Stuers, AMSTERDAM 1849 - 1850
Nineteenth Century Prints Illustrated AND BOOKS OF INDONESIA - 1979
BY JOHN AND CUSTOMS BROMMER Basin

FISHERMAN HARBOR ESTUARY AND MOUNTAIN PADANG Painted by J. Stadler, LONDON - 1811 Nineteenth Century Prints Illustrated AND BOOKS OF INDONESIA - 1979 BY JOHN AND CUSTOMS BROMMER Bastin

KAMPUNG NELAYAN


KAMPONG FISHERMAN
By: Marshalleh Adaz

Formerly at the summit of Mount Padang there is a place to hang a flag pole balls are colorful. From the way the ball hung to known types of ships that enter and exit through Muaro Padang. And there is a stone near the flag pole basurek, which clearly older than the flag pole itself. It's just that there is no actual reference to the truth and the contents of these basurek stone.

As in painting pictures C.W. AFTER Mieling H.J.J.L. Stuers, Amsterdam 1849-1850, Gunung Padang in describing the shape of a triangle with dipuncaknya flagpole and two adjacent islands (Pulau Pisang and Pulau Pisang Gadang Ketek).
Some ships and fishing boats also decorate the painting. Depiction of conditions in the form of painting in those days was fantastic, although there are some objects that are less precise. For example, two adjacent islands, where the view is now only visible from the beach Manih Aia, then there is a building tucked between Mount Padang to Bukit Gado Gado. But such was the power of a painting. Illustrations are able to bridge the memories and the natural dimensions of the human mind. So be sure the painting was made based on what you've seen and felt painter while in Padang Beach. Maybe when it stood at mid Strandweg painter (Edge of the Sea Road - now Ocean Way).

Almost all the paintings or photographs of Padang for beach before the 19th century shows a boat. For example painting J. Stadler (London, 1811), which described the buffalo and the boat in the driveway of the river (estuary), Padang, or painting of a fishing boat with background house and mountain Padang. Another painting, by P. Lauters (Amterdam, from 1843 to 1845), more dominant with big-screen poster boat that was sailing a small boat and some of them. Some photo collections KITLV Leiden also describes the sea, rivers and boats. The existence of these boats indicates that Muaro Padang is the area of fisheries, trade, government, military and other living communities associated with river and sea. According to historical records, until the late 19th century, Muaro Padang can only be passed by a small boat and was, for the size of a large boat had docked at Banana Island Tower, and followed by a small boat. This is due to shallow and narrow Muaro Padang period. Because of its location near the sea and river flow, among others, Padang known fishing village or kampong Batung. Last term because it's easily found thick lush bamboo.
Its existence as a region likely to start with theory and historical research which states that children from Dara Orange Adityawarman who crowned himself as the first king of Minangkabau (1339). In extending the power and to run his government Adityawarman appointed a viceroy for the Agam, Tanah Datar, Fifty Cities, Kubang Thirteen, Solok, seacoast and the seacoast east coast on the west coast (Padang is in this region). In other literature also mentioned the Portuguese (Thomas Diaz) never get to Padang (1684) after he was stopped in the area Batusangkar. Travel Diaz arrived at Padang through Kamparkanan and Si Balimbing. Only Diaz welcomed the arrival of antipathy by the people of Padang thus forcing Diaz to continue wandering by taking the Minangkabau region boundary mountain ranges with the eastern part of Sumatra Island. In the previous year (1660) also called the port city of Padang and had become the site of a treaty between the Netherlands with the people of Aceh as local authorities are gaining a monopoly over the earth.
It is not easy to know exactly when to start the first time an occupied area. Perhaps the logical interpretation can be obtained separately. If Aditywarman its own expansion to the west coast of Sumatra means there pre-existing population. Likewise, as a fishing village, the utilization of nature because of its geographical conditions have made the sea as the main livelihood of the time, so because of the similarity of the need for life settlements formed, in a larger capacity eventually become the village.

One thing more interesting than the painting, the picture without the outrigger canoe, one pole as the center of the screen buffer and a thatched cottage in the middle. To speed rowed with human power and the screen will be developed if it is located in the middle of the sea. Boats like these can also be called a medium size. While the large size marked Dengah main mast or pole addition, the multilevel structure of the screen, more than four meters wide and more than ten meters long, and are building a large enough middle. While for small boats, also called boat, elongated shape with a width of approximately one meter, more enabled transport people to and from large ships at sea park (near Banana Island Tower). With the condition without outrigger boat or other means of balance is a little contrary to the assumption of the research C. Nooteboom, that until the century millennium (1000 yr) bercadik boat boat has been used mostly in Indonesia and Oceania. Outrigger canoe is a tool balancer of bamboo that is placed along the walls of the boat.
However, after all, boats in the fishing village "Padang" has become a major water transportation, the ancestral symbol without contamination prior to the arrival of foreign nations, and the embryo of the potential for the advancement of civilization in the following years. My ancestors were a sailor ... ...

That is a line of lyric song still ringing ears when we talk about the sea. Dayuang Dayuang ... ..., ... the child dayuang palinggam, is the daily rhythm of fishermen, where the bow of their boats has combined Mount Padang - Batang Arau with settlements along the river - line of sand along a sloping beach of Padang, into a single package that passed down from generation to generation.

Sabtu, 18 Desember 2010

Yang Tersisa ........


Bangunan Geo Wehry & Co
Jalan Batang Arau No. 58


Bangunan ini didirikan awal abad 20. Geo Wehry adalah seorang bisnis berkebangsaan Jerman yang pada tahun 1900 berimigrasi ke Belanda. Konsentrsi bisnis Geo Wehry waktu itu adalah  mengimpor semua jenis rempat dari Indonesia, terutama dari Sumatera Barat.
Sesudah Perang Dunia ke-2, perusahaan Geo Wehry bergabung dengan Borneo Sumatra Maatschappij, dengan kesepakatan impor kelapa dari Kalimantan dan Kopra dari Sumatera. Borsumij Wehry resmi menjadi menjadi pengumpul barang di Amsterdam Stock Echange sampai 1980.
Bangunan ini memiliki bangunan penunjang disamping kiri dan belakang.

(MR. ADAZ)
Dirangkum dari beberapa sumber yang terbatas.

Senin, 13 Desember 2010

NASIB MU PADANG KOE


MENGGUGAT OBJEK WISATA BERSEJARAH



            Selalu akan muncul pertanyaan, jika daerah yang sarat dengan potensi tapi minus penghasilan dari potensi tersebut. Bahkan pertanyaan itu sendiri akan lebih tajam, jika anggaran yang terus diminta dan mengalir justru tidak berakar dari potensi yang dimiliki. Permasalahan ini sepertinya sudah menjadi langganan bagi Kota Padang. Tatkala tuntutan sebagai kota idaman semakin menggema, Padang ternyata disibukkan oleh peningkatan pembangunan berbasis ekonomi, pendidikan, sosial, budaya            dan agama, yang ternyata semua itu sebagian besar bermuara pada pembangunan fisik. Dan begitu salah satu basis mengalami benturan, maka faktor sosial, seni, budaya, dan agama tampil sebagai pendamping utama. Setidaknya begitulah anggapan kita sampai saat ini. Lalu, kenapa kita tidak mencoba menggali dan mengembangkan potensi yang jelas-jelas telah ada di pelupuk mata. Dengan harapan potensi itu sendiri dapat menjadi kebanggaan kota.
            Sumatera Barat pada umumnya dan Padang khususnya, telah ditetapkan sebagai salah satu dari lima daerah tujuan wisata, yang dapat membuka peluang tumbuh dan berkembangnya  seni, budaya dan potensi lainnya. Hal ini pernah disampaikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dalam Pembukaan Pekan Budaya Sumatera Barat, tanggal 27 November 2006.
Kenyataannya memang terasa, geliat wisata di kota ini berbanding terbalik dengan kekayaan wisata yang dimiliki. Selintas mungkin dapat kita lihat, Padang tak lebih dari kota transit bagi turis asing, yang singgah kemudian menuju Bukittinggi, kepulauan Mentawai atau daerah lainnya. Jika kita berada di daerah tetangga tersebut, kita sering melihat wisatawan asing hilir mudik, atau bersilancar di tengah tingginya ombak Mentawai. Mereka itu datang membawa dolar, yang berarti memberi tambahan pendapatan terhadap daerah itu sendiri. Kita tidak menampik kalau Padang juga punya objek alam, dengan pantainya yang membentang melingkar dari selatan ke utara, mulai dari Taman Nirwana dan Karang Tirta (Bungus Teluk Kabung), Teluk Bayur, Pantai Air Manis, Muaro Batang Arau, Pantai Ulak Karang dan Pantai Pasir Jambak (Koto Tangah). Bahkan diantara gugusan pantai tersebut terdapat Pulau Sikuai yang disulap menjadi Sikuai Island Resort. Masih ada lagi pulau-pulau sebagai pemikat wisatawan, seperti Pulau Pisang Gadang, Pulau Sirandah, Pulau Cubadak dan pulau kecil lainnya. Disekeliling pulau tersebut terdapat alternatif objek wisata, misalnya taman laut dengan aneka flora dan terumbu karangnya. Teluknyapun dapat dijadikan arena menyelam, memancing, jetsky, dan olahraga air lainnya. Lalu, kenapa kita tidak melihat seringnya para wisatawan asing bersileweran di kota ini, bukan berarti menjadikan populasi bule sebagai standarisasi pariwisata, namun mungkin dengan kedatangan mereka dapat diasumsikan bahwa informasi potensi kita telah sampai kenegeri mereka.
            Seakan tak mau kalah dengan potensi alam tersebut, Padang ternyata memiliki bangunan tua bernilai sejarah, seperti kawasan Batang Arau dan sekitarnya terdapat bangunan-bangunan dengan gaya lama, yang tersebar sampai ke pusat kota. Bahkan di daerah pinggiran, dapat juga ditemui bangunan atau rumah tua yang jika dilihat dari fisiknya bisa diperkirakan ketuaan usianya. Lalu, muncul lagi pertanyaan, kenapa potensi yang tak ternilai ini sama sekali sangat jauh dari sentuhan demi mendongkrak arus wisatawan ke Kota Padang. Apakah tidak ada usaha yang mengkemas sedemikian rupa sehingga menarik untuk dilihat, disinggahi dan menjadi daya tarik untuk selalu dikunjungi. Apakah, satu lagi pertanyaan sentimentil, para pihak yang berkompeten baik pemerintah maupun swasta, sudah semakin larut dengan kepentingannya sendiri sehingga melupakan warisan dari leluhurnya. Padahal, jika mau saja sedikit peduli dan usaha, potensi warisan tersebut pada akhirnya akan mengalir untuk kepentingan bersama, bahkan terbuka juga kemungkinan untuk kepentingan pribadi.
            Tahun 1988 pernah dilaksanakan pendataan terhadap bangunan kuno dan kolonial serta kawasan bersejarah di Kota Padang, yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota. Upaya ini kemudian direspon Undang Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam undang undang tersebut sangat jelas ditegaskan bahwa pengelolaan benda cagar budaya dan situs tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga masyarakat, kelompok atau peorangan. Apalagi, dengan terbitnya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah diberikan peluang bagi daerah untuk mengelola segala sumberdaya yang dimiliki, termasuk sumberdaya budaya atau sejarah, agar menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Inti dari semua itu adalah pelestarian dan pemanfaatan sehingga berhasil guna dan berdaya guna. Seharusnya dengan data tersebut sampai sekarang telah terlihat hasil yang menggembirakan. Seharusnya di Padang telah terlihat lonjakan arus wisatawan. Apakah kota ini akan selamanya terus mengusung wacana peningkatan kepariwisataan.
            Melihat kepada hasil pendataan, terinventarisasi sebanyak 74 bangunan/objek bersejarah, yang sebagian besar berada di kawasan Batang Arau, Pasa Gadang dan Jalan Jenderal Sudirman. Ini belum termasuk kawasan lain di beberapa kecamatan di Kota Padang. Dan satu langkah lagi, Tahun 2006, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Padang juga telah kembali melakukan kegiatan pendataaan yang sama, dengan beberapa tambahan lokasi temuan bangunan/objek. Namun sekali lagi, data tersebut walaupun telah dibukukan, itu hanya sebuah wacana. Kalaupun akan direalisasikan, harus melalui usulan untuk tahun berikutnya (2008). Lantas, hasil nyata apa yang telah dilahirkan dari pariwisata bersejarah sampai saat ini. Jawabannya akan terus mengambang, karena hampir sebagian dari bangunan tua di kota ini telah beralih fungsi menjadi pergudangan, perkantoran atau bangunan kosong. Belum lagi bangunan atau benda bernilai bersejarah yang tersebar di beberapa kecamatan, yang belum diketahui dan tersentuh sama sekali.
            Penulis pernah mencoba menelusuri kawasan batang arau, mulai dari Stasiun Pulau Aia sampai ke ujung Muaro Padang. Sangat memilukan sekali, bangunan yang seharusnya menjadi saksi sejarah harus bersinggungan dengan pemanfaatan yang mengaburkan arti kenangan. Misalnya Stasiun Pulau Aia (bukan Pulau Air),  telah menjadi wacana bagi J.F. Kipperman, yang bertindak atas nama Gemeente Padang tanggal 1 Maret 1900. Kipperman merencanakan mendirikan tempat mangkalnya gerbong kereta api (stasiun/halte keretapi) untuk eksploitasi dari dan ke Kota Padang. Rencana Kipperman ini ternyata baru dapat terealisasi tahun 1929. Sekarang stasiun tersebut dijadikan gudang dan tempat mangkalnya truk. Kembali menyisiri pinggiran Sungai Arau (Batang Arau), penulis melihat beberapa bangunan tua dengan arsitektur kuno yang mencerminkan kejayaan pada masa terciptanya. Secara acak penulis akan sampaikan hasil pengamatan tersebut.
            Beautik Hotel, Jln. Batang Arau No. 33. Dulunya adalah bangunan Spaar Bank. Bangunan ini memiliki dua lantai. Disamping pintu masuk terdapat inskripsi yang dipahatkan pada marmer putih yang berbunyikan Padangsche Spaar Bank, dibangun tahun 1908. Bangunan ini telah mengalami pengulangan bentuk persegi dan lengkung secara horizontal. BTN pernah berkantor di bangunan ini. Sejak tahun 1995 difungsikan sebagai penginapan, menurut informasi, penginapan ini khusus untuk turis asing.
Beberapa bangunan tua lainnya masih berjajar sampai ke Jembatan Siti Nurbaya seperti di Jln. Batang Arau No. 23 (Kantor NV. Internatio-1910), No. 24, No. 34 (dibangun tahun 1910), No. 44 dan 48 (gudang Bersumy Wehry), No. 42 (sekarang Kantor Bank Mandiri-dulunya Kantor Nederlandsch Indiche Escompto My), No. 46 (Kantor Bersumy Wehry), No. 50, No. 52-54 dan 56.
Mata penulis tertumbuk pada sebuah bangunan berbentuk segitiga yang meruncing secara frontal. Pada bagian puncaknya (bubungan) terdapat tiga buah atap yang menonjol ke atas, seolah-olah sebagai cerobong. Pada bagian atasnya terdapat deretan motif matahari berdekatan dengan  dua buah lubang angin. Bangunan ini adalah bangunan Geo Wehry & Co, dibangun awal abad ke-20. Berdasarkan informasi yang diperoleh, mengambil nama dari nama seorang pengusaha Jerman, Geo Wehry berimigrasi ke Belanda kemudian berkecimpung di bidang usaha impor rempah-rempah dari Indonesia terutama Sumatra Barat. Sesudah Perang Dunia ke-2 Wehry bergabung dengan Borneo-Sumatra Maatschappij (Borsumij) dengan kesepakatan kelapa dari Kalimantan dan kopra di Sumatra. Akibat prospek usaha inilah yang mengantarkan Wehry berdomisili usaha di Padang, dengan basis kantor di pinggiran Batang Arau untuk memudahkan transportasi ke dan dari Kota Padang. Keberadaan gedung ini pernah menjadi agenda Badan Warisan Sumatra Barat (BWSB) untuk dikonservasikan serta difungsikan sebagai bangunan pusat kebudayaan Namun, pihak terkait kurang merespon aspirasi ini. Pemerintah kota sebagai generatornya otonomi daerah justru lambat dalam menanggapi potensi seperti ini. Padahal jika memang ditindaklanjuti, mungkin sekarang Bangunan Geo Wehry tersebut telah berfungsi sebagai exhibition house, tempat latihan/pagelaran seni serta kebudayaan Kota Padang, turis informasi, meeting room, dan berbagai kegunaan lainnya. Bangunan ini memiliki luas 24 x 35 m2 dengan bangunan penunjang lain di samping kiri dan belakang.
Bersebelahan dengan SPBU, Jln. Batang Arau No. 70, sebuah bangunan dengan atap genteng berbentuk limas, memberikan daya tarik untuk dilihat. Pada dinding pintu depan kirin kanan terdapat inskripsi yang menerangkan bangunan ini dibangun oleh Bouwk Bureau (biro) bernama sitsen en Lauzada. Dibangun tahun 1933 seperti tulisan inskripsi, De Eeerste Steen Geleid op 14 Augustus 1933 door Tilly Hazevoet. Yang menarik dari bangunan ini yaitu dibagian depan kiri kanan, terdapat beberapa cerukan yang berfungsi sebagai parkirnya sepeda atau kereta angin. Fungsi bangunan ini ternyata hanya sebagai gudang. Tidak jauh dari bangunan en Lauzada (nama yang penulis pilih sendiri), berdiri kokoh bangunan yang difungsikan saat ini sebagai Museum Bank Indonesia, Jln Batang Arau No. 60. Bangunan ini diperkirakan dibangun sekitar tahun 1830, karena inskripsinya sudah terhapus (dibuang ?).
            Bangunan bernilai sejarah lainnya seperti di sepanjang Jalan Kelenteng (misalnya Vihara Tri Dharma-She Hing Kiong, 1897), Jalan Pasa Batipuah (misalnya Mesjid Muhammadan, 1923), Jalan Pasa Malintang, Jalan Pasa Mudiak, Jalan Bundo Kanduang, Jalan Gereja, Jalan Ksatria, Jalan Muaro, Jalan Stasiun, Jalan Pualau Aia. Bahkan sampai ke pusat kota juga bisa ditemui bangunan bersejarah lainnya, seperti di Jalan M. Yamin (Kantor Balaikota Padang), Jalan Bagindo Aziz Chan, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Terandam (bekas rumah potong hewan) dan Jalan DR. Wahidin.
Bahkan mungkin banyak orang yang tidak tahu, kalau di Jalan A. Yani, di depan Rumah Dinas Walikota Padang, juga terdapat sebuah rumah yang pernah ditempati oleh Presiden RI pertama (1942). Waktu itu menjelang kejatuhan Belanda, Soekarno di bawa ke Padang dari Bengkulu agar jangan sampai jatuh ke tangan Jepang. Soekarno sampai di Padang pertengahan Februari 1942 dan menetap dirumah sahabatnya Dr. Woworuntu, Jln. A. Yani No. 12. Soekarno menetap di Padang hanya beberapa bulan dan banyak melakukan kegiatan politik dan pergerakan.
Seakan tak pernah lelah, dalam kesempatan lain, penulis mencoba menelusuri beberapa tempat selain kawasan kota tua. Misalnya ke Sungai Beremas, dimana berdiri megah sebuah mercusuar OS. Beremas. Dibawah mercusuar ini terdapat sebuah lorong setengah melingkar yang menghadap ke laut, dengan panjang lebih kurang 250 m. Lorong atau lobang ini dapat dilewati orang dewasa, memiliki beberapa kamar dengan dindingnya tebal dan kokoh sekali. Dibagian tengah lorong agak menjorok ke depan terdapat bekas kedudukan sebuah meriam. Menurut informasi yang diperoleh, meriam tersebut panjangnya 8 m. Meriam itu hilang sekitar tahun 1980. Tidak beberapa jauh dari mercusuar, terdapat lagi lorong dengan posisi yang sama. Ditempat ini dapat ditemui sebuah meriam dengan panjang lebih kurang 8 m. Kondisi meriam ini tergeletak dilantai, rangkaian pendukungnya sudah berserakan, diperkirakan memang sengaja dibongkar oleh tangan-tangan jahil untuk kepentingan pribadi. Meriam dengan bentuk dan ukuran yang sama dapat ditemui di sisi Gunung Padang. Lalu, apakah pihak pemerintah telah mengetahui kondisi dan potensi ini, yang jika dimaksimalkan dapat mengalahkan pamornya Lobang Jepang di Bukittingi. Atau, harus menunggu sampai potensi itu tinggal kenangan.
Di daerah Batu Busuak, dekat Kampus Unand Limau Manih, terdapat sebuah jembatan yang jauh lebih tua dari usia kota ini. Masyarakat setempat menyebutnya Jembatan Kalawi. Jembatan ini awalnya dibangun tahun 1810, setelah Belanda berkuasa diganti dengan beton dan arsitektur gaya Belanda. Di kawasan Lubuk Minturun juga terdapat sebuah bunker peninggalan Belanda. Tempat lain yang memiliki lobang atau bunker seperti di Gunung Padang, Gunung Pangilun, Bukit Napa, Bukit Batu Busuk, Bukit Teluk Bayur, kawasan lapangan pelabuhan udara Tabing (bekas pacuan kuda) yang memiliki bunker serta benteng, dan beberapa tempat lainnya.  
Hampir di sebelas kecamatan Kota Padang terdapat beragam bentuk bangunan yang memiliki corak dan arsitektur bersejarah, yang menarik untuk dikunjungi, bahkan untuk diteliti, walaupun persebarannya tidak sebanyak di kawasan kota lama. Misalnya di daerah Pauh, tidak beberapa jauh dari Jembatan Kalawi, terdapat deretan rumah berpanggung penduduk, tapi hanya beberapa rumah yang memiliki arsitektur bergonjong. Tentunya ini menimbulkan pertanyaan, apakah pada zaman dulunya pengaruh Kerajaan Minangkabau hanya bersifat kepatuhan akan sebuah mitos seperti yang dijelaskan oleh Rusli Amran dalam Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang-nya. Atau melambangkan kasta yang punya rumah pada saat itu. Bahkan di kecamatan ini pernah mucul legenda si Patai yang menjadi momok bagi Kolonial Belanda. Sepertinya Kota Padang tidak akan pernah kehabisan bahan untuk disajikan, yang disuguhkan sebagai komoditi wisata bersejarah.
Sekarang kita sampai pada pertanyaan mendasar. Sudah sejauhmanakah usaha dan hasil kerja Pemerintah Kota melalui instansi terkaitnya dalam mengangkat potensi objek wisata bersejarah, sehingga menjadi kebanggaan bersama dan pantas untuk Ku Jaga dan Ku Bela. Padahal dikota ini sangat banyak (penulis tidak mau menggunakan kata “cukup’) sumberdaya manusia dengan lebih selusin gelar dan keahlian yang berkompeten. Mereka itu diantaranya sudah ada yang mendunia dan diakui secara nasional. Lantas, apa yang menjadi kendala utamanya, sehingga kota ini sepertinya sudah kehilangan taji padahal kaya akan potensi. Sudah bukan saatnya lagi untuk berwacana karena era globalisasi sudah berada ditengah kita, walaupun memang kita sering disodorkan istilah “tidak ada kata terlambat”. Kenapa beban ini harus dipikul oleh pemerintah, bukankah konsep otonomi daerah telah memberi peluang kepada siapa saja. Jawabnya gampang saja, karena memang pemerintah-lah yang memiliki akses langsung ke arah itu, karena yang lainnya adalah pendamping utama, yang jika dilibatkan jelas akan memberikan hasil prima.
            Untuk itu, Pemerintah harus melakukan kontrol intensif terhadap pemanfaatan bangunan-bangunan tua, membuat kesepakatan yang tegas dan jelas tentang penggunaan bangunan tua bersejarah dengan pihak lain yang menggunakannya, memperjelas arah pengelolaan kawasan kota tua dan purbakala sebagai kawasan lindung, menciptakan peraturan yang memuat sanksi yang tegas terhadap pemerintah sendiri, masyarakat atau pemilik bangunan terhadap pelanggaran pelestarian, memberi tanda khusus terhadap bangunan bersejarah yang dilindungi dan dilestarikan, melakukan koordinasi lintas sektoral sehingga mampu meminmalisir aktifitas masyarakat dikawasan bersejarah, mencarikan tempat pengganti kepada pemilik yang bangunannya diambil sebagai cagar budaya sejarah, dan menetapkan master plan pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan kawasan bersejarah. Dan langkah nyata terpenting adalah segera menunjuk dan menempatkan tenaga yang handal dan berani untuk menempati posisi “mendulang emas” dibidang kepariwisataan. Lebih baik kita mengkesampingkan unsur politis, sosial, dan emosional agar hasil mereka berbeda dari kegiatan atau hasil kerja pejabat sebelumnya.
            Semoga saja kita semua tidak larut dengan wacana-wacana yang pada akhirnya membuat kita terlena. Karena kita semua berhak untuk menggugatnya.