Kamis, 30 September 2010

GUNUNG PANGILUN

BUNKER  ......  ?????????????



GUNUNG PANGILUN

Berpotensi sebagai objek wisata bersejarah


Dahulunya Padang hanyalah kampung nelayan karena datarannya yang terletak di pesisir pantai Pulau Sumatra. Sejak abad 17, Padang mulai dilirik sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal niaga, disamping Tiku dengan potensi yang sama. Tapi karena saat itu terjadinya konflik antara penguasa setempat dengan para pendatang asing, akhirnya Kota Padang mulai mendapat perhatian utama. Kawasan Muaro Padang atau Batang Arau menjadi saksi sebagai pintu gerbang menuju daerah pedalaman dan dataran tinggi di Sumatra Barat. Sehingga hampir di sekitar wilayah ini berdirilah bangunan-bangunan yang menggambarkan fungsinya masa itu, seperti kantor perdagangan dan gudang. Bahkan di awal abad 19, terdapat sebuah stasiun kereta api yaitu Stasiun Kereta Api Pulau Aia.
Yang namanya penjajah selalu serakah dalam segala hal. Kompeni atau Belanda ternyata selalu ingin mengeruk kekayaan alam nusantara ini dan berambisi sekali memperluas daerah kekuasaannya. Waktu yang tiga setengah abad merupakan perjalanan yang sangat panjang bagi Belanda dan bangsa yang dijajahnya. Salah satu warisan peninggalan Belanda adalah bangunan-bangunan perniagaan dan pertahanan, yang sebagian besar masih ada sampai sekarang.

Sebelumnya mari kita lihat satu tempat yang mungkin saja tidak banyak orang yang tahu, bahwasanya Kota Padang tidak saja memiliki meriam seperti di benteng Jepang Gunung Padang (panjang ± 8 meter), tapi juga terdapat di Sei. Beremas. Tepatnya bersebelahan dengan Mercusuar OS. Beremas (Bukit Lampu). Ditempat ini terdapat sebuah meriam dengan ukuran yang sama. 
Meriam tersebut tergeletak begitu saja diatas tanah, sedang perangkat lainnya sudah berserakan dan ada yang hilang oleh tangah-tangan yang tidak tahu artinya sejarah. Dibawah mercusuar itu sendiri memang terdapat sebuah benteng, namun meriamnya sudah hilang dan hanya tinggal kedudukannya saja. Posisi kedua benteng tersebut sama-sama menghadap ke laut dan memiliki lorong ± 250 meter. 

Belanda atau Jepang memang sudah merencanakan untuk menguasai Kota Padang dan sekitarnya secara menyeluruh, walaupun untuk itu harus menghadapi perlawanan yang gigih dan melelahkan dari para pejuang. Sehingga dapat dipastikan, hampir disetiap tempat di sebelas kecamatan Kota Padang ini dapat ditemukan bangunan-bangunan yang berguna untuk pertahanan atau penyerangan. Jika saja kita mengikuti pola pikirnya penjajah, dimana benteng di Mercusuar OS. Beremas berfungsi mengawasi kawasan perairan Teluk Bayur dan sekitarnya, kemudian benteng di Gunung Padang untuk menghadapi datangnya musuh yang akan masuk melalui Muaro Padang atau sekitar Pantai Air Manis, tentunya mereka ingin juga mendirikan sebuah benteng yang dapat mengamati hampir seluruh wilayah pedalaman dan pesisir pantai Padang.
Tertarik akan asumsi ini, penulis hanya melihat bahwa Gunung Pangilun-lah daerah yang tepat untuk itu. Penulis kemudian mulai mencari informasi untuk membuktikan kebenaran dugaan ini. Ternyata memang betul adanya, Gunung Pangilun tidak saja berfungsi sebagai jalurnya evakuasi Tsunami tapi juga memiliki lorong-lorong yang sangat panjang layaknya sebuah benteng, bahkan mungkin melebihi Mercusuar OS. Bremas dan Gunung Padang. Penulis-pun bertemu dengan beberapa orang penduduk setempat yang pernah masuk ke dalam lorong tersebut dan mengetahui banyak sedikitnya hal ikhwal tentang gunung ini. Nama gunung diambil dari nama orang, yang konon dulunya sangat disegani serta dihormati, bahkan ada yang beranggapan Nenek Pangilun terkenal Sakti. Menurut kabar nenek ini dimakamkan disalah satu puncak gunung ini (terdiri dari tiga bukit kecil yang berbaris). Sehingganya sejak saat itu disebut Gunung Pangilun. 
Gunung Pangilun sebelumnya disebut juga Gunung Senteong dan Gunung Ledang, atau nama-nama dari tiga gugusan gunung ini. Gunung Pangilun bukanlah gunung dalam arti sebenarnya, hanya saja masyarakat setempat telah terbiasa menyebut gunung daripada Bukit Pangilun. Berdasarkan informasi yang diperoleh, digunung ini terdapat lubang dan benteng, yang kesemuanya berfungsi untuk penyerangan, pertahanan, atau tempat tinggal. 
Diasumsikan, didalam tiga rangkaian gunung kecil ini terdapat terowongan yang saling berhubungan. Untuk membuktikan dugaan tersebut, pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2008, pukul 10.00 Wib. Penulis ditemani oleh Ayah (pernah memasuki salah satu lubang) dan Eri (pemuda setempat), mulai menaiki salah satu sisi bukit. Penulis kemudian menemukan lubang dengan tinggi ± 1,5 meter yang berlorong dengan lebar ± 1 meter yang mengarah ke perut gunung. Menurut informasi, panjang terowongan ini mungkin ± 2,5 km, yang memiliki beberapa kamar disepanjang lubangnya. Karena keterbatasan alat dan waktu, penulis hanya melihat dari mulut lubang saja. 
Ditempat terpisah, yaitu di lereng gunung lain, ditemukan bangunan berbentuk benteng kecil. Pada bagian luarnya terdapat celah kecil yang berfungsi untuk mengintai dan menembak. Posisi benteng kecil ini mengarah kebagian barat (mungkin untuk musuh dari arah laut atau darat) dan timur untuk bagian pedalaman. Bangunan dengan fungsi yang sama juga penulis temukan ditempat lain. Sepertinya benteng atau pos kecil ini mengelilingi gunung ini. Jarak antar pos tersebut ± 500 m. Hampir setiap benteng tersebut terdapat lorong dengan tinggi ± 1,5 meter dan lebar ± 1 meter yang mengarah ke perut gunung. Hanya saja jalan ke arah ini ada yang tertimbun oleh tanah dan ada yang sengaja ditutup. Dinding lorong atau pos terbuat dari beton dan permanen.
Penulis kemudian melanjutkan penelusuran ke salah satu puncak Gunung Pangilun ini. Dibagian puncak ini terdapat sebuah wadah berbentuk kolam atau penampungan air hujan. Dimana disalah satu ujungnya terdapat saluran kecil yang mengarah kebagian bawah gunung. Tidak beberapa jauh dari wadah itu terdapat lagi bangunan kecil bundar tapi tidak memiliki jendela atau ventilasi, hanya sebuah jalan masuk dari tanah. Sementara itu, persis dibelakang Kantor Lurah Tabing Banda Gadang ditemukan lubang yang sudah ditutupi tanaman penduduk setempat, menurut iformasi, lorongnya tembus sampai ke belakang Kantor BKMM (Balai Kesehatan Mata Masyarakat). Masih banyak sisi bukit lain yang belum penulis telusuri karena hari keburu senja. Penelusuran hari ini telah memberikan gambaran yang jelas bahwasanya Gunung Pangilun pada waktu dulunya bukan saja berfungsi sebagai pengintaian, penyerangan dan pertahanan, bahkan lebih dari sekedar benteng biasa. Berkemungkinan sekali gunung ini dijadikan sebagai bunker atau tempat tinggal oleh Belanda atau Jepang. Hal ini dibuktikan dengan adanya aliran air dari atas menuju keberapa bagian bawah gunung. Bahkan ada informasi yang menyebutkan bahwa mobil (jeep) bisa sampai ke atas, dan terdapat tanah lapang yang cukup luas. Disamping itu juga ada beberapa kamar saling berhadapan diantara jalur terowongan.
Jika dikaitkan dengan letak gunung tidak jauh dari pusat kota, asumsi Gunung Pangilun adalah benteng sekaligus bunker dapat diterima. Apalagi satu-satunya gunung (bukit) yang terpisah (berdiri sendiri) dari gugusan Gunung Padang di Muaro Padang adalah Gunung Pangilun. Sehingga tidak salah kalau Belanda atau Jepang melirik gunung ini potensial sekali dijadikan benteng sekaligus tempat tinggal untuk sementara waktu.
Penulis hanya bisa menghela nafas panjang, karena kita kembali dihadapkan pada ketidakberdayaan yang selalu berakar dari kurangnya perhatian dan minat kita terhadap peninggalaan pendahulu kita. Sekiranya apa yang penulis temukan sekarang hanya akan menjadi wacana, maka kita kembali kehilangan bukti sejarah lahirnya sebuah kota.Diperlukan usaha dan upaya yang serius dan berkesinambungan untuk menggali potensi ini, sehingga Gunung Pangilun dapat dijadikan objek wisata bersejarah, atau bisa saja menjadi For de Cock-nya Padang.
Semoga jejak sejarah dikota ini tidak hilang ditelan waktu dan kepentingan pembangunan, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pendahulunya. MR. ADAZ

SEJARAH KOTA PADANG

Asal Usul Kota Padang
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”Padang” berarti suatu tanah yang datar dan luas, atau lapangan luas. Kondisi tersebut menjadi inspirasi bagi lahirnya nama kota Padang. Secara topografi kota Padang merupakan dataran rendah yang dikelilingi bukit-bukit yang tidak begitu tinggi. Di kota ini bermuara dua buah sungai  yaitu Batang Kuranji dan Batang Arau.
            Pada Abad ke-14 (1340—1375) di Minangkabau ada sebuah kerajaan dibawah pemerintahan Adityawarman. Pada masa itu wilayah Padang cuma dikenal sebagai kampung nelayan, orang menyebutnya Kampung Batung. Ke-tika itu Padang diperintah oleh Penghulu Delapan Suku dengan sistim pemerintahan nagari.
            Sekitar abad ke-15 dan 16 kerajaan Aceh dibawah pemerintahan Iskandar Muda meluaskan wilayah ke-kuasaan dan perdagangannya sampai ke pesisir pantai barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman, dan  Indrapura. Padang sebagai daerah pantai masa itu telah disinggahi oleh pedagang–pedagang dari daerah lain yang akan terus  ke Aceh. 
            Akhir abad ke-16 masa jaya Kerajaan Aceh mulai turun, daerah-daerah yang dikuasai kerajaan Aceh mulai melepaskan diri, dan pada waktu bersamaan di nusantara ini mulai beroperasi perusahaan dagang Belanda,  di-kenal dengan nama VOC (Verenigde Ost Indisehe Company). VOC menerapkan politik devide at impera (pecah belah) dalam perluasan perdagangan dan kekuasaannya. Akibatnya timbul ketegangan masyarakat di kota-kota pesisir pantai Sumatera. Kerajaan Aceh dipropaganda oleh VOC seolah akan menguasai Padang. VOC berdalih membantu masyarakat menghadapi Aceh.
            VOC menyadari dan melihat Padang sangat strategis dan dijadikan pusat perdagangan dan pe-merintahan. Pulau Cingkuak, dan Batang Arau lebih baik dijadikan sebagai daerah pelabuhan. Melalui penghulu terkemuka Padang yang bernama Orang Kayo Kaciak VOC dapat izin mendirikan loji pertama pada tahun 1667 di kota Padang.

Inilah titik awal Padang tumbuh se-bagai sebuah kota. Tidak cuma sebagai pelabuhan tetapi ju-ga sebagai pusat perdagangan. Gudang-gudang besar mulai dibangun untuk tempat pengumpulan barang. Pelabuhan Muara begitu sibuk melayani arus perdagangan, sehingga wilayah ini tumbuh menjadi pusat pemukiman.
            Belanda tidak saja meluaskan perdagangannya melalui VOC, tetapi mulai dapat memerintah masyarakat. Dari Muara Padang ini pusat pemerintahan dan per-dagangan Belanda digerakkan ke seluruh pelosok Sumatera bagian tengah.
            Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan dikalangan rakyat. Rakyat merasakan bahwa Belanda tidak lagi berdagang, tetapi sudah menjajah. Rakyat mulai melakukan perlawanan. Puncaknya terjadi pada tanggal 7 Agustus tahun 1669 di mana masyarakat Pauh dan Koto Tangah berhasil menguasai loji-loji Belanda di Muara serta banyaknya Belanda yang dibunuh. Peristiwa ini kemudian diabadikan sebagai tahun kelahiran Kota Padang. Setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi kota Padang.
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
            Pada tahun 2006 ini kota Padang telah berusia 337 tahun, persisnya tanggal 7 Agustus 1669 - 7 Agustus 2006. Berbagai bentuk pembangunan dilaksanakan. Derap langkah pembangunan terus dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan warga. Padang sedang berbenah diri untuk menjadi kota industri, kota perdagangan dan kota pariwisata.
            Saat ini Padang sudah termasuk kota besar. Potensi dan letaknya yang strategis menjadikan Padang sebagai pintu gerbang wilayah barat pulau Sumatera. Posisi yang strategis itu mengakibatkan pertumbuhan dan perkem-bangan kota berlangsung cepat. Tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan Padang sebagai ”titik simpul” bagi per-tumbuhan dan perkembangan Indonesia di wilayah Barat Sumatera, apalagi sarana dan prasarana lalu lintas darat, laut dan udara semakin memadai.
            Visi Kota Padang yaitu ”Terwujudnya Kota Padang sebagai pusat perekonomian dan pintu gerbang per-dagangan terpenting di Indonesia bagian Barat  tahun 2008”. Hal ini dapat diwujudkan karena Padang memiliki  cukup banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia.
            Faktor yang mendorong Kota Padang sebagai pusat perdagangan adalah karena di daerah sekitarnya ter-dapat hasil bumi dan hasil tambang yang strategis yang diharapkan dapat dipasarkan melalui kota Padang, ter-utama wilayah bagian barat pulau Sumatera.
            Dalam lima tahun terakhir perdagangan berskala besar, menengah dan kecil menunjukkan perkembangan yang megembirakan. Hal ini dapat dilihat dari fakta yang ada dengan meningkatnya jumlah perusahaan per-dagangan dari 24.500 tahun 2002 menjadi 27.132 pada tahun 2005. Hal ini juga didukung dengan dibangunnya pusat-pusat perdagangan serta terus dikembangkannya  pasar-pasar yang telah ada.
Pemerintahan
            Dalam perjalanan seja-rahnya, pemerintahan di Kota Padang mengalami pasang surut.  Hal ini dimulai dari zaman Belanda, Jepang dan Pro-klamasi kemerdekaan RI. Di za-man Belanda (VOC) di samping sebagai sebuah kam-pung nelayan Padang juga sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Waktu itu Batang Arau merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera.
            Pada masa VOC daerah ini berada dalam Onmder afde link Conterliur Van Padang dibawah lingkungan kekuasaan Pejabat Bumi Putra Regen Padang. Sehingga Padang memiliki dua fungsi, sebagai pusat perdagangan dan pusat kegiatan penjajah Belanda. Padang bahkan dijadikan daerah kedudukan residen atau kepala pemerintahan untuk daerah Sumatera barat.
            Setelah kemerdekaan diproklamirkan, Padang seba-gai sebuah wilayah tetap setia berada dibawah pe-merintahan RI. Melalui ketetapan Gubernur Sumatera Barat tanggal 17 Mei 1946 No 103 Padang ditetapkan menjadi kota besar.
            Walikota Padang pertama adalah, Mr.Abubakar Ja’ar (1945—1946), menjabat beberapa bulan saja. Mr Abubakar Ja’ar dipindahkan menjadi residen di Sumatera Timur. Selanjutnya Padang dipimpin oleh Bagindo Aziz Chan (1946-1947) yang dikenal sebagai Walikota Pejuang. Beliau gugur tanggal 17 Juli 1947 di tangan penjajah Belanda. 
            Setelah Bagindo Aziz Chan gugur, Belanda me-lakukan agresi I, akibatnya secara de fakto Belanda menguasai Padang. Untuk itu pemerintahan kota Padang dipindahkan ke Padangpanjang dengan walikotanya Said Rasyad (1947). Pemerintahan Said Rasyad berlangsung tidak lama karena timbulnya agresi ke II. Walikota berikutnya adalah Dr.A.Hakim (1947—1949) dan me-merintah tidak terlalu lama. Setelah pemulihan kedaulatan RI tahun 1949 Padang dipimpin oleh  Dr. Rasyiddin sebagai walikota yang ke lima (1949-1956 )
            Melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 No 65/GP-50 ditetapkan pemerintahan kota Padang sebagai suatu daerah otonom.
            Walikota keenam (1956—1958), Pada tahun 1958-1966 Padang dipimpin oleh Z.A.St.Pangeran sebagai walikota ke tujuh. Berikunya walikota Padang adalah Drs. Azhari sebagai walikota ke delapan dan pada tahun 1967-1971 Padang dipimpin oleh Drs.Achirul Yahya yang merupakan Walikota ke sembilan
            Dengan keluarnya UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, kota Padang di samping daerah otonom ,juga merupakan wilayah administratif  dikepalai oleh seorang walikota dan waktu itu diangkat sebagai walikota Padang ke sepuluh adalah Drs. Hasan Basri Durin (1971—1983). Sesuai dengan PP No. 17 Tahun 1980 Padang diperluas menjadi 694,96 Km2 terdiri dari 11 kecamatan dengan 193 kelurahan.
            Setelah Drs. Hasan Basri Durin selesai melaksanakan tugasnya sebagai walikota Padang, maka diangkatlah Syahrul Ujud,SH sebagai Walikota Kota Padang kesebelas dengan kepemimpinannya selama sepuluh tahun (1983—1993). Berakhirnya kepemimpinan Syahrul Ujud, SH tongkat estafet kepemimpinan kota Padang diserahkan kepada Drs. Zuiyen Rais, MS (1993—2003) yang merupakan Walikota Padang ke dua belas. Sejak 2003 sampai sekarang, dua kali periode, Walikota Padang adalah Drs. Fauzi Bahar, Msi, walikota ke-13 dan ke-14. (MR. ADAZ)
 

Kawasan dan Aktivitas di Teluk Bayur = Emmahaven

aWal abad 19



Kawasan dan Aktivitas di Batang Arau

aWAL abad 19


BANDAR LAMA


KEBERADAANNYA  DI PADANG


A.    Latar Belakang munculnya Bandar
            Kota Padang merupakan Ibu Kota Propinsi Sumatera Barat. Kota ini sebelumnya terdiri dari rangkaian daerah-daerah pesisir Kerajaan Minangkabau, yang disebut juga Daerah Rantau. Padang juga merupakan bandar sekaligus pintu gerbang bagi daerah pedalaman seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan Painan yang terletak di pesisir pantai bagian barat Sumatera.
            Abad ke 14 dan 15, Padang dikenal sebagai Kampung Nelayan. Pada masa itu Padang berada di bawah Kerajaan Aceh Padang (Sultan Iskandar Muda) dengan daerah taklukan Tiku, Pariaman, Indrapura. Padang saat itu sebagai daerah transit karena disinggahi oleh pedagang-pedagang Tiku, Pariaman dan daerah lainnya untuk terus ke Aceh. Namun Padang saat itu belum sebesar Pariaman. Hal ini disebabkan karena Pariaman dijadikan tempat kedudukan panglima yang diangkat oleh raja Aceh untuk daerah pesisir Sumatera.
            Abad ke 16 dan 17, hampir semua daerah kekuasaan Aceh ingin melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Aceh. Pada saat yang bersamaan, di Indonesia pada umumnya termasuk Minangkabau, telah mulai pula beroperasi Perusahaan Dagang Belanda yang dikenal dengan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Timbulnya ketegangan antara kota-kota pesisir pantai barat Sumatera dengan Kerajaan Aceh merupakan peluang bagi VOC untuk melaksanakan Politik Adu Domba-nya, yaitu dengan dalih membantu daerah-daerah pesisir menghadapi Kerajaan Aceh. Sehingga pada tahun 1667 dan 1670 (setelah dua kali pembakaran loji akibat sabotase penduduk) Belanda atau VOC diberi izin mendirikan loji di Pulau Cingkuak Kabupaten Pesisir Selatan. Untuk memperluas wilayahnya, VOC melihat Padang sangat strategis untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan dibandingkan Pulau Cingkuak, hal ini disebabkan pelabuhan yang melalui Batang Arau lebik baik keadaannya dari Pulau Cingkuak. Untuk menjamin kekuasaannya, Belanda mengangkat Orang Kayo Kaciak (Penghulu terkemuka di Padang) sebagai Penguasa Padang tanggal 18 September 1667.  Mulai saat itu Padang akhirnya tumbuh menjadi daerah kota, karena telah merupakan:
1.      Daerah pusat perdagangan, baik dengan daerah pedalaman Minangkabau maupun dengan dunia luar.
2.      Daerah Bandar atau pelabuhan dari dan ke Minangkabau (pedalaman).
3.      Pusat kediaman, baik oleh bangsa Belanda, bangsa asing lainnya maupun pendatang dari daerah lain.
            Abad ke-18, Padang adalah sebuah kota Metropolitan di pulau Sumatera baik sebagai pusat pemerintahan, pusat pertahanan militer dan sentra perdagangan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari Asia, Eropah terutama Belanda, Inggris dan Portugis. Saat itu pelabuhan yang digunakan adalah Muaro dengan fasilitas terbatas. Kapal-kapal besar umumnya tidak dapat merapat ke Muaro, tetapi berlabuh di Pulau Pisang Gadang. Untuk inilah Belanda sengaja membangun dermaga di Pulau Pisang Gadang sebagai pelabuhan transit. Selanjutnya orang atau barang-barang dibawa ke Muaro dengan sampan besar yang dikayuh oleh 12 orang yang kemudian berkembang dengan penggunaan kapal uap kecil. Belanda juga pernah berkeinginan membangun dermaga di Air Manis tapi terhalang dengan sulitnya membuat jalan melalui Bukit Air Manis yang cukup tinggi. Setelah melakukan penelitian, maka tahun 1888—1895 dibangunlah Pelabuhan Teluk Bayur. Pembangunan ini dikerjakan oleh Ir. JP. Yzerman, oleh Belanda pelabuhan ini diberi nama Emma Haven. Tahun 1892 Pelabuhan Teluk Bayur resmi dibuka bersamaan dengan dibukanya trayek kereta api Padang—Sawahlunto (daerah tambang batu bara).
B.     Keberadaan Dua Pelabuhan: Batang Arau dan Teluk Bayur
            Hingga akhir abad ke-18, wilayah Kota Padang hanya sekitar Batang Arau, Kampung Cina, Pasar Gadang atau Pasar Hilir, Pasar Mudik, Palinggam dan daerah pinggir laut. Sisanya merupakan hutan dan tanah rawa. Batang Arau atau disebut juga Sungai Padang memiliki panjang 25 km, yaitu dari muara sampai ke hulunya di Bukit Barisan. Tepian sungai sebelah kanan atau utara merupakan daerah datar dan sebelah selatan sungai merupakan daerah perbukitan (tinggi 322 m) yang sebenarnya merupakan kaki pegunungan Bukit Barisan.
            Walaupun kegiatan perdagangan terjadi di daerah sekitar muara Batang Arau, namun kapal-kapal yang relatif berukuran besar tidak dapat berlabuh di Batang Arau, kecuali perahu, biduk dan kapal berukuran kecil, seperti telah dikemukakan sebelumnya. Dengan kata lain, Batang Arau merupakan gerbang untuk berbagai komunitas dan aktifitas. Sehingga, bermunculanlah bangunan atau kantor, seperti:
-          Loji VOC (bagian timur penjara lama)
-          Penginapan Hotel Padang (simpang Jalan Nipah, berbelok ke kiri arah ke muara)
-          Hotel Sumatera (Penjara sekarang)
-          Gedung milik N.H.M atau Nederlandsch Handels Maatschappy (dekat Muara, tepi Batang Arau arah ke timur), dan beberapa kantor-kantor dagang swasta lainnya
-          Tugu Ir. De Greve, penemu tambang batu bara Sawahlunto (SPBU sekarang)
-          dan beberapa bangunan lainnya.
            Batang Arau yang akhirnya disebut Pelabuhan Muaro sampai abad ke-19 masih berperan sebagai pintu transit baik ke dalam maupun ke luar Padang dan sekitarnya. Sampai sekarang kapal yang sering singgah adalah kapal dengan tujuan Mentawai dan kapal-kapal dengan tujuan pulau lainnya, disamping kapal penangkap ikan karena dipelabuhan ini terdapat kantor perikanan. Sebagai alternatif untuk mempermudah transportasi lewat laut, maka dibukalah alternatif lain, yaitu Emma Haven. Pelabuhan ini sejak mulai diresmikan berfungsi sebagai lalu lintas perdagangan dan orang dari dan ke Pulau Jawa atau Eropa, dan juga sebagai lalu lintas militer akibat makin berkecamuknya perang perlawanan rakyat daerah Sumatera Barat dan sekitarnya. Pada dasarnya Emmahaven dibangun sebagai akibat meningkatnya eksploitasi batu bara yang pada akhirnya menuntut Padang dijadikan sebagai stasiun batu bara. Sehingga dibangunlah jaringan jalan kereta api, yang selesai tahun 1896 (jalur rel utama sudah siap sejak tahun 1892). Nama Emmahaven di ambil dari nama Ibu Suri Kerajaan Belanda. Tidak diperoleh tanggal dan bulan diresmikannya Emmahaven, baik dari buku maupun kepustakaan lainnya.
            Dengan berfungsinya pelabuhan Emmahaven, maka lalu lintas perdagangan dan orang semakin ramai dan perkembangan Kota Padang pun meningkat terus baik sebagai pusat pemerintahan dan militer maupun sebagai kota pardagangan. Akibatnya, kegiatan bongkar muat di pelabuhan Muaro menjadi berkurang dan hanya untuk menampung kapal-kapal kecil saja. Namun sebagai pusat kota dimana terkonsentrasinya kegiatan perkantoran dan perdagangan, kondisi kawasan ini tetap tidak berobah bahkan semakin berkembang dengan dibangunnya pasar-pasar seperti Pasar Mudik, Pasar Tanah Kongsi dan Pasar Kampung Jawa. Setelah kemerdekaan pelabuhan Emmahaven berganti nama menjadi Teluk Bayur.
            Secara makro, pelabuhan Teluk Bayur berperan aktif dalam mendukung pembangunan Propinsi Sumatera Barat dan daerah sekitarnya, sedangkan secara mikro berperan sebagai penunjang ekonomi regional Sumatera Barat. Beberapa catatan yang perlu diketahui sehubungan pembangunan dan pengembangan Pelabuhan Teluk Bayur, antara lain:
1.      Pembangunan dan pengembangan fasilitas yang dimulai sejak bulan Oktober 1987 hingga Maret 1992 dalam rangka Proyek FNPDP (First National Port Development Project) yang dibiayai dengan pinjaman Bank Dunia dan DIP (Pelita), dengan hasil:
a.       Penggantian Dermaga kayu II,III dan IV menjadi dermaga beton sepanjang 415 m.
b.      Renovasi gudang 102, 103 dan 104 seluas 6.000 m2.
c.       Pembangunan dermaga multipurpose sepanjang 222 m yang dapat melayani kapal kontainer.
d.      Pembangunan Container Freight Station seluas 5.250 m2 dan Lapangan Penumpukan Container seluas 39.075 m2.
e.       Pengerukan kolam pelabuhan dengan kedalaman laut 10 m lws.
f.       Peningkatan dan rehabilitasi jalan, instalasi air dan penerangan.
2.      Ekspor perdana dengan Kapal Hoegh Clipper ke Amerika.
C.    Penutup
            Membicarakan latar belakang atau keberadaan bandar terutama di Kota Padang, tak terlepas dari aspek yang memberi dukungan terciptanya bandar itu sendiri sebagai lokasi atau wilayah yang menghimpun aneka komunitas. Batang Arau dan Emmahaven, yang berganti nama menjadi Pelabuhan Muaro dan Pelabuhan Teluk Bayur merupakan salah hasil akibat adanya kepentingan untuk hidup dan kehidupan, baik dulu maupun sekarang.
Padang

MR. ADAZ
Disadur dan dikutip dari berbagai sumber kepustakaan :
Sofwan, Mardanas dkk, Sejarah Kota Padang, Padang 1987.
Pemda Tingkat II Kotamadya Padang dan PT Buana Lestasi, 326 Tahun Padang Kota Tercinta 7 Agustus 1969—7 Agustus 1995, Padang 1995.
_______________ Padang Kota Tercinta, Padang 1973.
_______________ Memori Pelaksanaan Tugas Walikotamadya K.D.H. Tingkat II Padang, H. Syahrul Udjud, SH. 1983—1993. Padang 1993.
Colombijn, Freek - Tim BWSB, Paco-Paco (Kota) Padang – Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada Abad Kedua Puluh dan Penggunaan Ruang Kota, Leiden 1994.












ARSIP


            Korelasi antara Harapan dan Kenyataan

Sebelum terbitnya UU arsip yang baru tahun 2009
             
Bukan lagi suatu yang baru jika arsip dipandang sebagai tumpukan kertas penuh debu atau kumpulan kertas yang dikarungkan. Juga bukan saatnya lagi arsip “harus” dilihat sebelah mata hanya karena minus sumber daya. Konsep tersebut akan dapat dimengerti jika kita mau merunutnya jauh ke belakang.
Dimana lebih dari setengah abad, kita (bangsa ini) telah diperkenalkan oleh bangsa penjajah tentang keberadaan arsip dan sistemnya. Adalah Belanda yang dikenal dengan sistem kearsipannya yang baku dan tertib, yang kemudian sistem itu diterapkannya pada negara-negara yang menjadi jajahannya termasuk Indonesia. Saat itu kegiatan kearsipan dikonotasikan hanya untuk kegiatan pencatatan surat masuk dan surat keluar. Anggapan dan pemahaman ini masih berlanjut hingga Indonesia merdeka. Sehingga tidak mengherankan jika tenaga-tenaga pengelola kearsipan saat itu diperuntukkan bagi pegawai yang hanya lulusan Sekolah Rakyat atau orang-orang yang menjelang pensiun sebagai sekedar pengisi kegiatan yang kosong. Dan, tidak jarang posisi ini diperuntukkan bagi pegawai yang tidak mendapatkan jabatan struktural atau karena terlibat suatu kasus tertentu yang kemudian “diarsipkan”.
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, yang disahkan dan diundangkan di Jakarta tanggal 18 Mei 1971, konstelasi tentang arsip dan kearsipan mulai dibenahi. Bernaung di bawah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971, kearsipan semakin dituntut menjalankan sistemnya secara baik. Pemerintahpun secara bertahap mulai membuat kebijakan ke arah penyelamatan arsip dan memandang perlunya profesionalisme bidang kearsipan. Bukti nyata pemerintah serius dalam hal ini terlihat pada Pasal 4:
1.      Arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf a Undang-undang ini adalah dalam wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya dari Pemerintah.
2.      Pemerintah berkewajiban untuk mengamankan arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf b Undang-undang ini sebagai bukti pertanggungjawaban nasional, yang penguasaannya dilakukan berdasarkan perundingan atau ganti rugi dengan pihak yang menguasai sebelumnya.
            Kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah adalah menguasai arsip-arsip secara menyeluruh sesuai dengan fungsi-fungsinya dalam pasal 2 (huruf a) dan (huruf b) UU Nomor 7 Tahun 1971. Penguasaan itu dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1.        Penyelenggaraan tata-kearsipan diseluruh aparatur
2.        Menentukan syarat-syarat pengamanan arsip-arsip, termasuk dalam hal ini naskah-naskah:
a.       Yang diterima oleh dan/atau terjadi karena pelaksanaan kegiatan perorangan/badan-badan swasta yang secara hukum sudah beralih kepada Lembaga-lembaga Negara/Badan-badan Pemerintahan;
b.      Yang karena perjanjian ataupun berdasarkan ketentuan-ketentuan lain atau ketentuan-ketentuan sebelumnya telah berada dalam tanggung jawab pusat-pusat penyimpanan arsip yang telah ditentukan oleh Pemerintah;
c.       Yang merupakan reproduksi dalam bentuk apapun daripada arsip dimaksud dalam pasal 1 huruf a.
1.      Peranan Arsip di Kota Padang (Dulu dan Sekarang)
Melalui berbagai arsip kita akan dapat memperoleh gambaran kegiatan dan kejadian di masa lampau. Banyak peristiwa masa lalu yang terselubung gelap dan tidak dapat dipahami, tetapi kemudian akan menjadi terang dan dapat dimengerti karena adanya informasi yang terkandung dalam arsip. Arsip itu relatif faktual dan aktual, karena ketika arsip sudah berbicara maka keabsahannya tidak diragukan lagi.
a.      Dulu
Mungkin tidak banyak orang yang tahu jika arsip memiliki andil terbesar dalam mengungkap sejarah Padang sebelum menjadi pemukiman yang heterogen (kota) seperti saat ini. Menurut sejarah lisan (tambo) yang ditulis, Padang dulunya dihuni oleh perantau Minangkabau jauh sebelum orang Aceh datang. Salah seorang dari perantau pertama yang datang telah menemukan sebuah meriam kecil, pisau, serpihan poselin dengan tulisan “La ilaha ilallah Moehammad Rasoel Allah” dalam huruf Arab, dan sebilah pedang, yang dijadikan sebagai nama dari tempat ini.”   
            Disini kita bukan mempermasalahkan asal-usul historis sebuah daerah, tapi membuktikan bahwa arsip memang sudah berjalan lebih lama dan dapat dijadikan penentu dalam menentukan sesuatu.
Bukti lain arsip memang bagian dari suatu sejarah adalah seperti contoh kasus pada masa Perjuangan Kemerdekaan di Kota Padang tahun 1945 – 1949, yaitu setelah Sekutu menyerahkan pemerintahan sepenuhnya kepada NICA (Belanda) bulan November 1946, di mana intimidasi terus dilakukan terhadap Republik dan pejuangnya. Dimeja perundingan, rata-rata Belanda selalu menang karena memiliki bukti-bukti yang kuat walaupun bukti tersebut tidak masuk akal. Republik masa itu dinilai sangat lamban.
            “... dalam masalah ini kita betul-betul selalu lebih lamban daripada Belanda. Belanda lebih aktif daripada kita. Lantas ketika Belanda bertindak, kita selalu hanya memberikan reaksi .... Dalam pembicaraan mengenai garis demarkasi, misalnya, Belanda sudah siap lebih dulu, lengkap dengan peta mereka; kita masih belum menyiapkan apa-apa. Tetapi tampak jelas bagi kita kalau masalah-masalah ini yang dirundingkan Belanda kemungkinan sudah diketahui pemerintah kita di Yogyakarta, namun kita belum diberitahu. Lantas ketika Belanda sudah siap dengan peta mereka dan bilang, disinilah garis demokrasi, kita benar-benar belum siap dan kita masih belum tahu di mana garis demarkasi seharusnya ada. Maka sewaktu berunding, kita hanya memberi reaksi terhadap usul Belanda. Dengan ini kita tidak setuju, dengan itu kita tidak setuju. Maka perundingan akhirnya macet. Kita terus menekan Belanda supaya mundur dari sini ... mundur dari sana. Lantas macetlah perundingan sekian lama”.

            Begitulah Belanda menerapkan politik pembodohan, dengan sengaja Belanda menempatkan kalangan pribumi yang tidak mengenal bangku pendidikan hanya untuk mengelola arsip surat masuk dan surat keluar, sedangkan untuk arsip yang dinilai penting Belanda lebih mempercayakannya pada kalangan sendiri atau para antek-anteknya yang lulus uji kesetiaan. Bangsa kita selalu kewalahan saat Belanda kuat dengan argumentasinya. Jika sudah begitu, tak ada jalan selain agresi. Walaupun lewat jalur diplomatis kita “kalah”, namun tidak sedikit pula dilapangan kita dapat memetik kemenangan telak. Seperti contoh pada Pertempuran Rimbo Kaluang, 21 Februari 1946. Pertempuran ini adalah penyerangan terbesar yang dirancang sendiri oleh Ahmad Husein, opsir terbaik pada masa Jepang dalam Gyugun.
            “... Operasi ini memang disiapkan secara matang. Sasaran diobservasi terlebih dahulu, peta operasi dibuat, dan strategi pengerahan pasukan dirancang pula dengan baik. Daerah berkumpul, lokasi bertolak pasukan penyerang dan pos pasukan bantuan ditetapkan di Kampung Kalawi...”
Pada contoh pertama, kelalaian dan minusnya kemampuan dalam pengelolaan kearsipan menyebabkan kita hanya menggunakan ilmu akal-akalan dan harus bersikap “dewasa” karena jika terus tidak setuju maka akan memperkuat anggapan “ekstrimis” cocok untuk bangsa kita, disamping itu, kurangnya koordinasi dan komunikasi dalam hal arsip (peta) antara pemerintah pusat dan daerah memperkuat anggapan bahwa Belanda memang lebih hebat dari kita. Kelalaian dalam pengelolaan dan penyelamatan arsip seperti itu berkolerasi sekali terhadap nyawa para pejuang kita yang selalu menunggu keputusan hasil perundingan. Sementara itu, pada contoh kedua, secara tidak langsung, pejuang kita telah mulai meletakan dasar-dasar pengelolaan kearsipan, yaitu diawali dengan observasi arsip yang akan dikelola, pengklasifikasian masalah dan pelaksanaan. Pembuatan peta yang dilakukan menandakan pejuang kita mengetahui betul pola kearsipan Belanda, sehingga Ahmad Husein dan kawan-kawan berhasil memasuki sebuah gudang senjata di Rimbo Kaluang.
b.      Sekarang
            Dari tahun 1942 sampai sekitar tahun 1971, Indonesia terlempar ke dalam pusaran kekerasan fisik di antara bermacam kelompok yang bersaing mendapatkan kekuasaan, Padang terhisap ke dalam pusaran ini, bahkan kadangkala menjadi pusat sejarah nasional. Dengan saling berebutnya untuk kekuasaan maka sudah jelas perhatian terhadap arsip jadi terabaikan, salah satunya ekonomi perdagangan. Sulit untuk menyajikan laporan perdagangan yang terperinci karena selama bertahun-tahun tidak tersedia statistik perdagangan, informasi mengenai impor hampir dapat dikatakan tidak ada, angka-angka yang ada tidak bisa dipercaya. Kalau sudah demikian berarti arsip sengaja dinomor duakan dan dipolitisir untuk kepentingan kelompok tertentu.
Pada masa Orde Baru atau Orba. Dalam sejarahnya, orba dibidang lembaga administratif telah menghasilkan ribuan bahkan jutaan arsip yang tersebar di berbagai instansi pemerintah yang berbeda. Dalam kurun waktu 32 tahun, orba telah pula menghasilkan puluhan bahkan ratusan struktur organisasi instansi pemerintah yang dalam perjalannya juga mengalami pasang surut perubahan struktur organisasi masing-masing. Dalam konteks kearsipan, penciptaan organisasi atau struktur organisasi membawa konsekuensi logis terhadap perubahan pencipta arsipnya (Creating Agency). Arsip orba dalam kurun waktu yang relatif panjang itupun telah menghasilkan informasi bukan hanya bersifat politis tapi juga mengandung informasi lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan nasional. Hal-hal ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana arsip harus diakuisisi, diolah, disimpan, dilestarikan dan disajikan kepada masyarakat.
            Berbanding terbalik dengan keadaan pada masa kolonial, pemerintahan sesudah Indonesia merdeka tidak jauh beda dengan pola Belanda. Salah satunya, sumberdaya manusia yang ditempatkan untuk mengelola arsip masih dengan kesan “tempat buangan” dan arsip dalam karungan.
            Saat ini institusi yang menangani arsip adalah Kantor Arsip, Perpustakaan dan Dokumentasi untuk Kota Padang dan Badan Arsip Propinsi Sumatera Barat untuk lingkup Propinsi.
2.      Permasalahan Mendasar
            Setelah melihat bagaimana arsip dulu dan sekarang, dapat ditarik benang merah bahwa permasalahan mendasar dari kearsipan itu adalah:
a.       Kurangnya pengertian terhadap pentingnya arsip. Dengan belum atau kurang dipahaminya pengertian terhadap arsip, mengakibatkan tidak tercapainya fungsi arsip sebagai pusat ingatan dan akhirnya tugas-tugas di bidang kearsipan dipandang rendah.
b.      Kualifikasi persyaratan pegawai tidak dipenuhi. Hal ini terbukti dengan adanya penempatan pegawai yang diserahi tugas tanggung jawab mengelola arsip tidak didasarkan pada persyaratan yang diperlukan, bahkan banyak yang beranggapan cukup dipenuhi dengan pegawai yang berpendidikan sekolah dasar. Unit kearsipan juga menjadi tempat buangan bagi pegawai-pegawai yang dipindahkan dari unit lainnya, serta di samping itu masih ada anggapan, bahwa siapapun dapat mengerjakan kearsipan. Pegawai kearsipan yang kurang cakap dan kurang terbimbing secara teratur mengakibatkan tidak dapat mengimbangi perkembangan dalam bidang kearsipan.
c.       Bertambahnya volume arsip secara terus menerus mengakibatkan tempat dan peralatan yang tersedia tidak dapat menampung arsip lagi.
d.      Belum dibakukannya atau dibudayakannya pedoman tentang tata cara peminjaman arsip di masing-masing kantor, mengakibatkan setiap pegawai meminjam arsip, tanpa adanya peraturan yang jelas.
e.       Belum adanya rencana penyusutan arsip di unit operasional, maupun di kantor secara menyeluruh, mengakibatkan arsip semakin menumpuk, campur aduk dan tidak dapat ditampung lagi. Ini terlihat dari kondisi arsip di berbagai unit kerja.
            Memang sangat mendasar sekali permasalah yang dikemukakan di atas. Karena urgensinya bermuara kepada pelayanan yang prima. Sehingga tak ada salahnya jika dikemukakan beberapa upaya kearah penanggulangan permasalah di atas, antara lain:
a.       Perhatian dan dukungan dari pimpinan setiap kantor/organisasi untuk memberikan pengertian dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya bidang kearsipan dalam keseluruhan proses administrasi, perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal itu merupakan salah satu faktor yang menjamin dan menunjang berhasilnya usaha perbaikan dan penyempurnaan di bidang kearsipan.
b.      Dalam rangka menambah kecakapan/keterampilan pegawai kearsipan, maka perlu adanya pembinaan atau pendidikan dan latihan yang meliputi segala aspek kearsipan bagi para pejabat dan pelaksana secara terarah, agar dapat mengimbangi perkembangan serta dapat memenuhi syarat kualifikasi tertentu.
c.       Penggunaan arsip oleh pihak atau unit lain, menuntut adanya koordinasi antara unit dalam suatu kantor. Hal tersebut turut mempengaruhi faktor disiplin, mengingat aktivitas bidang kearsipan tidak dapat terlepas dari faktor hubungan kerja dengan unit-unit atau pihak lainnya.
d.      Sehubungan dengan sulit ditemukannya kembali arsip dengan cepat dan tepat bila diperlukan oleh pihak lain, maka salah satu usaha penanggulannya adalah perlu diteliti kembali kelemahan sistem pentaan arsip yang digunakan atau prosedur lainnya, untuk kemudian diadakan perubahan atau penyempurnaan sesuai kebutuhan. Atau mungkin sudah waktunya untuk melakukan penyederhaan tata kerja.
            Jika melihat bagaimana peran arsip di Kota Padang secara umum, akan tersirat bahwa penanganan arsip yang profesional masih dalam tahap proses. Jika muara dari kearsipan adalah penemuan kembali maka peran dari arsip itu sendiri harus lebih dioptimalkan.  Arsip jelas diharapkan menjadi otak cadangan karena endapan informasi yang dimilikinya. Namun akan riskan sekali jika harapan yang dimunculkan bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Dalam penyelenggaran pemerintahan yang amanah, peran arsip sangat sentral, karena arsip merupakan tulang punggung dari manajemen kepemrintahan yang amanah. Tidak ada satu kegiatan yang tidak memerlukan arsip dan tidak ada suatu kegiatanpun yang tidak menghasilkan arsip karena dari arsiplah dapat tercermin, terekam, dan terpotret hasil dari pelaksanaan suatu organisasi, karena arsip merupakan sumber informasi.
            Kita hanya bisa berharap arsip terus diminati, karena jika kita bersikap apatis maka peran arsip hanya sebatas secarik kertas yang menjadi rekaman informasi tapi kemudian dibuang. Bagi Kota Padang sendiri, arsip dasar untuk mengetahui jati diri pemerintahan. Terjadinya pergantian kepemimpinan tidak berarti sistem dan manajemen kearsipan ikut pula mengalami perubahan. (MR. ADAZ)