MASIH PERLUKAH KOTA TUA ?
OLEH : MARSHALLEH ADAZ
Hanya dalam rentang waktu tidak lama, Pemerintah Kota Padang menunjukkan kesungguhannya untuk menyelamatkan dan melestarikan bangunan tua bernilai sejarah yang terdapat di kota ini. Kesungguhan niat tersebut dibuktikan melalui kegiatan seminar dan workshop pada tanggal 13—15 Desember 2010 dan 6—7 Januari 2011, berlangsung di Lapau Gadang (Museum) Bank Indonesia Jl. Batang Arau No. 60 (dekat Jembatan Siti Nurbaya).
Memang tidak ada kata terlambat. Rencana penyelamatan bangunan kolonial atau bangunan tua bernilai sejarah di sepanjang Batang Arau, Pasa Gadang, Pasa Batipuh, Pasa Mudik, Pasa Malintang dan beberapa lainnya di Kota Padang, adalah wacana yang telah mengapung cukup lama. Sebut saja misalnya BP3 Batusangkar, BPPI Sumbar, BKNST Padang, Arkenas, penelitian dari perguruan tinggi, atau lembaga terkait lainnya, telah terlalu sering meninjau langsung bangunan yang ada disekitar kawasan tersebut, dengan hasil memberikan solusi konservasi berikut rancangan tindak lanjut, yang tentu saja disampaikan ke Pemerintah Kota Padang. Namun karena keterbatasan dana yang besar untuk rehabilitasi atau ”kurang beraninya” Pemko, akhirnya berbagai rencana dan proposal tersebut hanya menumpuk di atas meja.
Mungkin saja lain dulu lain pula sekarang. Di lintas vertikal maupun horizontal kesadaran untuk menyelamatkan bukti sejarah yang tersisa itu mulai tumbuh dan menggelora sebagai tanggung jawab bersama.
Bulan Desember 2010 diadakan Seminar dan Workshop Rekonstruksi dan Rehabilitasi Bangunan Cagar Budaya Pasca Gempa Sumatera Barat, dengan peserta dan narasumber dari Dirjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Budaya dan Pariwisata, Kementerian PU, UNESCO – Jakarta, NRICP Tokyo, Ahli Geologi UGM, dan instansi/lembaga di Sumatera Barat. Kemudian pada kesempatan kedua, Januari 2011 di tempat yang sama, hadir secara spesial para ahli bangunan tua dari Jepang (NRICP-Tokyo). Dua momentum ini semakin memantapkan keyakinan kita bahwa bangunan tua bersejarah di Kota Padang perlu segera di selamatkan.
SK Walikota Padang Nomor 03 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Penempatan Bangunan Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kota Padang merupakan benih yang semestinya sudah disemaikan, dan saat ini kita sedang memetik hasilnya. Namun apa hendak dikata, perbaikan stuktur dan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan lebih dominan sehingga membuat kita terlena dan sepertinya mengabaikan pelestarian.
Dan kembali takdir tak bisa ditebak, gempa 30 September 2009 telah meluluhlantakan Padang, Padang Pariaman, Pariaman, Pasaman dan Agam. Bagi Kota Padang ternyata sengsara membawa nikmat. Menyaksikan dan melihat satu per satu bangunan lama yang rusak dan hancur, menyentakkan lamunan semua orang. Jika binasa, bukti sejarah apalagi untuk generasi berikutnya. Jika rusak, pesan apalagi yang dapat disampaikan bahwa beginilah kota ku doeloe-nya. Seperti dua sisi mata uang; reruntuhan bangunan tua membuat mereka yang menghargai nilai sejarah harus meratapi ketidakberdayaan atas kuasa alam ini dan kembali mengkaji konsep awal, namun bagi mereka pemilik bangunan tua bisa jadi jalan mulus pun terbentang untuk menghancurkan dan mendirikan bangunan yang lebih modern.
Seberapa besarnya uji ambisi untuk menjaga kota tua agar tetap lestari dapat di evaluasi melalui lintasan sejarah dan kondisi geografis dimana bangunan bersejarah itu berada. Untuk Kota Padang saja, antara sejarah dan kondisi geografis adalah kembar siam yang tidak bisa dipisahkan. Dimulai dari tahun 1696, 1763, 1770, 1797, 1833, 1864, dan 1892, kawasan pantai bagian barat pulau Sumatera pernah terjadi gempa. Beberapa diantaranya pernah menimbulkan gempa besar dan tsunami, seperti tahun 1696 dan 1797 yang menghancurkan Kota Padang, bahkan beberapa perahu yang tertambat di Muaro Padang sampai terlempar ratusan meter ke arah daratan. Oleh beberapa para ahli sejarah, kronologis ini menyebabkan masyarakat Kota Padang arif dengan kondisi tersebut, sehingga tidak salah jika jauh ke arah daratan dapat ditemui bangunan-bangunan tua. Sedangkan bagi yang memilih tinggal dekat dengan laut mendirikan bangunan berpanggung untuk menghindari banjir, atau konstruksi bangunan yang lebih kuat agar tahan gempa.
Beberapa penelitian ahli geologi, meteorologi dan geofisika, baik dalam maupun luar negeri, sependapat jika pesisir Padang atau sebagian besar Kota Padang berada pada jalur lempeng dan palung samudra yang diakumulasikan sebagai sumber gempa bumi, yang terkenal dengan patahan semangka-nya. Jika letupannya di laut maka berpotensi tsunami dan jika pergeserannya ke daratan akan menimbulkan gempa tektonik yang dapat saja memicu aktifnya vulkanik. Kondisi ini memang telah terbukti menghasilkan bencana.
Gempa tahun 2009 walau tanpa tsunami dapat menjawab realisasi teori tersebut. Sebanyak 1.117 jiwa meninggal dunia, 114.797 rumah dan bangunan rusak berat, dan aktivitas kota lumpuh saat itu juga. Termasuk di dalamnya sebanyak 46 bangunan cagar budaya (dari 73 SK Wako 3/98) mengalami rusa sedang dan parah.
Beberapa penelitian dan survey oleh beberapa lembaga yang peduli akan nasib peninggalan bersejarah, baik dalam dan luar negeri, dapat menyimpulkan bahwa keberadaan bangunan tua di Kota Padang hampir berada pada status punah. Bahkan mungkin tidak berarti sama sekali sebelum adanya bencana gempa ini, yang telah mengalami perubahan fisik, material dan warna. Untuk kondisi; 169 (59%) mengalami rusak berat, 46 (16%) rusak sedang, dan 72 (25%) rusak ringan. Perbaikan pasca gempa; 39 (14%) sudah diperbaiki, 44 (15%) diperbaiki dan mengalami perubahan, dan 205 (71%) tidak diperbaiki sama sekali. Dan untuk peralihan fungsi; 88 % digunakan untuk perdagangan, 14 % institusi, dan sisanya sebagai tempat tinggal, fasilitas umum dan indsutri. Bagi pemilik atau penghuni yang tidak melakukan perbaikan, hal ini karena tidak adanya biaya sehingga cenderung menunggu dana gempa yang tidak seberapa.
Hasil analisa SWOT tim tersebut dengan tegas menyatakan bahwa; banyak bangunan berubah fungsi, tidak terawat dengan baik, rumah walet, bangunan baru yang tidak kontekstual, Infrastruktur yang kurang memadai, polusi Batang Arau, fasilitas wisata yang kurang terkelola, dan tidak tertatanya PKL. Berbanding terbalik dengan harapan yang nyata bahwa; memang di klaim sebagai kawasan awal pertumbuhan kota Padang, masih terdapatnya koleksi bangunan kolonial, India, China, dan rumah Padang lama, potensi Batang Arau sebagai wisata air dan pelabuhan, pusat gudang penyimpanan barang, dan keragaman budaya yang masih ada.
Diatas kertas dan teoritis memang harus ada beberapa sikap dan tindakan, seperti; tindakan perlindungan preservasi kawasan bersejarah, penguatan struktur pengelolaan oleh pemerintah, persamaan persepsi positif segala lini dan lapisan, kontinuitas survei dan penelitian, dan ketegasan hitam diatas putih oleh pengambil keputusan. Namun sekuatnya mendayung, selalu terbentur pada masalah pendanaan, tentang siapa yang akan menanggulanginya, bentuk imbalan kepada donatur, dan bahkan perebutan kepentingan jika dana itu telah tersedia. Padahal semua orang tahu, anggaran pembangunan pemerintah akan semakin terbatas jika hanya digunakan untuk konservasi.
Kondisi ini-lah yang kemudian melahirkan pemikiran perlunya campur tangan bantuan lembaga konservasi negara lain, seperti Belanda dan Jepang yang telah berhasil menyelamatkan benda cagar budayanya akibat bencana.
Masih perlukah kota tua.
Jika seandainya bantuan itu datang dalam bentuk pinjaman atau penawaran, kesepakatan apakah yang mesti disepakati. Mungkin dengan pertanyaan ”perlukah” ini, diperlukan kebijakan yang lebih bijak, keputusan yang tepat dan penetapan sistem yang transparan.
Jika memang ”Kawasan Kota Lama” akan dijadikan landmark atau icon-nya Kota Padang, maka ”Kota Tua” harus segera diselamatkan, menghentikan pembongkaran bangunan yang sedang berlangsung, me-wajibkan pemilik bangunan untuk membangun ke bentuk semula, memberikan tindakan tegas karena sebelumnya telah ada imbauan kepada pemilik bangunan cagar budaya, dan hentikan segera tarik ulur kepentingan diatas lahan kota lama. Jika memang ”Kota Tua” adalah sebuah koridor etalasenya Padang Kota Lama, maka langkah konkrit untuk itu adalah realisasi segera rumusan hasil penelitian seminar dan workshop yang baru saja dilaksanakan. Jangan lagi membuat wacana dan konsep baru yang akhirnya akan membuahkan tambal sulam rencana, yang justru semakin memperpanjang jalan pemulihan. Karena kondisi fisik bangunan yang ada sekarang tidak akan mampu bertahan kalau harus menunggu kajian demi kajian lagi.