Kamis, 30 September 2010

ARSIP


            Korelasi antara Harapan dan Kenyataan

Sebelum terbitnya UU arsip yang baru tahun 2009
             
Bukan lagi suatu yang baru jika arsip dipandang sebagai tumpukan kertas penuh debu atau kumpulan kertas yang dikarungkan. Juga bukan saatnya lagi arsip “harus” dilihat sebelah mata hanya karena minus sumber daya. Konsep tersebut akan dapat dimengerti jika kita mau merunutnya jauh ke belakang.
Dimana lebih dari setengah abad, kita (bangsa ini) telah diperkenalkan oleh bangsa penjajah tentang keberadaan arsip dan sistemnya. Adalah Belanda yang dikenal dengan sistem kearsipannya yang baku dan tertib, yang kemudian sistem itu diterapkannya pada negara-negara yang menjadi jajahannya termasuk Indonesia. Saat itu kegiatan kearsipan dikonotasikan hanya untuk kegiatan pencatatan surat masuk dan surat keluar. Anggapan dan pemahaman ini masih berlanjut hingga Indonesia merdeka. Sehingga tidak mengherankan jika tenaga-tenaga pengelola kearsipan saat itu diperuntukkan bagi pegawai yang hanya lulusan Sekolah Rakyat atau orang-orang yang menjelang pensiun sebagai sekedar pengisi kegiatan yang kosong. Dan, tidak jarang posisi ini diperuntukkan bagi pegawai yang tidak mendapatkan jabatan struktural atau karena terlibat suatu kasus tertentu yang kemudian “diarsipkan”.
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, yang disahkan dan diundangkan di Jakarta tanggal 18 Mei 1971, konstelasi tentang arsip dan kearsipan mulai dibenahi. Bernaung di bawah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971, kearsipan semakin dituntut menjalankan sistemnya secara baik. Pemerintahpun secara bertahap mulai membuat kebijakan ke arah penyelamatan arsip dan memandang perlunya profesionalisme bidang kearsipan. Bukti nyata pemerintah serius dalam hal ini terlihat pada Pasal 4:
1.      Arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf a Undang-undang ini adalah dalam wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya dari Pemerintah.
2.      Pemerintah berkewajiban untuk mengamankan arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf b Undang-undang ini sebagai bukti pertanggungjawaban nasional, yang penguasaannya dilakukan berdasarkan perundingan atau ganti rugi dengan pihak yang menguasai sebelumnya.
            Kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah adalah menguasai arsip-arsip secara menyeluruh sesuai dengan fungsi-fungsinya dalam pasal 2 (huruf a) dan (huruf b) UU Nomor 7 Tahun 1971. Penguasaan itu dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1.        Penyelenggaraan tata-kearsipan diseluruh aparatur
2.        Menentukan syarat-syarat pengamanan arsip-arsip, termasuk dalam hal ini naskah-naskah:
a.       Yang diterima oleh dan/atau terjadi karena pelaksanaan kegiatan perorangan/badan-badan swasta yang secara hukum sudah beralih kepada Lembaga-lembaga Negara/Badan-badan Pemerintahan;
b.      Yang karena perjanjian ataupun berdasarkan ketentuan-ketentuan lain atau ketentuan-ketentuan sebelumnya telah berada dalam tanggung jawab pusat-pusat penyimpanan arsip yang telah ditentukan oleh Pemerintah;
c.       Yang merupakan reproduksi dalam bentuk apapun daripada arsip dimaksud dalam pasal 1 huruf a.
1.      Peranan Arsip di Kota Padang (Dulu dan Sekarang)
Melalui berbagai arsip kita akan dapat memperoleh gambaran kegiatan dan kejadian di masa lampau. Banyak peristiwa masa lalu yang terselubung gelap dan tidak dapat dipahami, tetapi kemudian akan menjadi terang dan dapat dimengerti karena adanya informasi yang terkandung dalam arsip. Arsip itu relatif faktual dan aktual, karena ketika arsip sudah berbicara maka keabsahannya tidak diragukan lagi.
a.      Dulu
Mungkin tidak banyak orang yang tahu jika arsip memiliki andil terbesar dalam mengungkap sejarah Padang sebelum menjadi pemukiman yang heterogen (kota) seperti saat ini. Menurut sejarah lisan (tambo) yang ditulis, Padang dulunya dihuni oleh perantau Minangkabau jauh sebelum orang Aceh datang. Salah seorang dari perantau pertama yang datang telah menemukan sebuah meriam kecil, pisau, serpihan poselin dengan tulisan “La ilaha ilallah Moehammad Rasoel Allah” dalam huruf Arab, dan sebilah pedang, yang dijadikan sebagai nama dari tempat ini.”   
            Disini kita bukan mempermasalahkan asal-usul historis sebuah daerah, tapi membuktikan bahwa arsip memang sudah berjalan lebih lama dan dapat dijadikan penentu dalam menentukan sesuatu.
Bukti lain arsip memang bagian dari suatu sejarah adalah seperti contoh kasus pada masa Perjuangan Kemerdekaan di Kota Padang tahun 1945 – 1949, yaitu setelah Sekutu menyerahkan pemerintahan sepenuhnya kepada NICA (Belanda) bulan November 1946, di mana intimidasi terus dilakukan terhadap Republik dan pejuangnya. Dimeja perundingan, rata-rata Belanda selalu menang karena memiliki bukti-bukti yang kuat walaupun bukti tersebut tidak masuk akal. Republik masa itu dinilai sangat lamban.
            “... dalam masalah ini kita betul-betul selalu lebih lamban daripada Belanda. Belanda lebih aktif daripada kita. Lantas ketika Belanda bertindak, kita selalu hanya memberikan reaksi .... Dalam pembicaraan mengenai garis demarkasi, misalnya, Belanda sudah siap lebih dulu, lengkap dengan peta mereka; kita masih belum menyiapkan apa-apa. Tetapi tampak jelas bagi kita kalau masalah-masalah ini yang dirundingkan Belanda kemungkinan sudah diketahui pemerintah kita di Yogyakarta, namun kita belum diberitahu. Lantas ketika Belanda sudah siap dengan peta mereka dan bilang, disinilah garis demokrasi, kita benar-benar belum siap dan kita masih belum tahu di mana garis demarkasi seharusnya ada. Maka sewaktu berunding, kita hanya memberi reaksi terhadap usul Belanda. Dengan ini kita tidak setuju, dengan itu kita tidak setuju. Maka perundingan akhirnya macet. Kita terus menekan Belanda supaya mundur dari sini ... mundur dari sana. Lantas macetlah perundingan sekian lama”.

            Begitulah Belanda menerapkan politik pembodohan, dengan sengaja Belanda menempatkan kalangan pribumi yang tidak mengenal bangku pendidikan hanya untuk mengelola arsip surat masuk dan surat keluar, sedangkan untuk arsip yang dinilai penting Belanda lebih mempercayakannya pada kalangan sendiri atau para antek-anteknya yang lulus uji kesetiaan. Bangsa kita selalu kewalahan saat Belanda kuat dengan argumentasinya. Jika sudah begitu, tak ada jalan selain agresi. Walaupun lewat jalur diplomatis kita “kalah”, namun tidak sedikit pula dilapangan kita dapat memetik kemenangan telak. Seperti contoh pada Pertempuran Rimbo Kaluang, 21 Februari 1946. Pertempuran ini adalah penyerangan terbesar yang dirancang sendiri oleh Ahmad Husein, opsir terbaik pada masa Jepang dalam Gyugun.
            “... Operasi ini memang disiapkan secara matang. Sasaran diobservasi terlebih dahulu, peta operasi dibuat, dan strategi pengerahan pasukan dirancang pula dengan baik. Daerah berkumpul, lokasi bertolak pasukan penyerang dan pos pasukan bantuan ditetapkan di Kampung Kalawi...”
Pada contoh pertama, kelalaian dan minusnya kemampuan dalam pengelolaan kearsipan menyebabkan kita hanya menggunakan ilmu akal-akalan dan harus bersikap “dewasa” karena jika terus tidak setuju maka akan memperkuat anggapan “ekstrimis” cocok untuk bangsa kita, disamping itu, kurangnya koordinasi dan komunikasi dalam hal arsip (peta) antara pemerintah pusat dan daerah memperkuat anggapan bahwa Belanda memang lebih hebat dari kita. Kelalaian dalam pengelolaan dan penyelamatan arsip seperti itu berkolerasi sekali terhadap nyawa para pejuang kita yang selalu menunggu keputusan hasil perundingan. Sementara itu, pada contoh kedua, secara tidak langsung, pejuang kita telah mulai meletakan dasar-dasar pengelolaan kearsipan, yaitu diawali dengan observasi arsip yang akan dikelola, pengklasifikasian masalah dan pelaksanaan. Pembuatan peta yang dilakukan menandakan pejuang kita mengetahui betul pola kearsipan Belanda, sehingga Ahmad Husein dan kawan-kawan berhasil memasuki sebuah gudang senjata di Rimbo Kaluang.
b.      Sekarang
            Dari tahun 1942 sampai sekitar tahun 1971, Indonesia terlempar ke dalam pusaran kekerasan fisik di antara bermacam kelompok yang bersaing mendapatkan kekuasaan, Padang terhisap ke dalam pusaran ini, bahkan kadangkala menjadi pusat sejarah nasional. Dengan saling berebutnya untuk kekuasaan maka sudah jelas perhatian terhadap arsip jadi terabaikan, salah satunya ekonomi perdagangan. Sulit untuk menyajikan laporan perdagangan yang terperinci karena selama bertahun-tahun tidak tersedia statistik perdagangan, informasi mengenai impor hampir dapat dikatakan tidak ada, angka-angka yang ada tidak bisa dipercaya. Kalau sudah demikian berarti arsip sengaja dinomor duakan dan dipolitisir untuk kepentingan kelompok tertentu.
Pada masa Orde Baru atau Orba. Dalam sejarahnya, orba dibidang lembaga administratif telah menghasilkan ribuan bahkan jutaan arsip yang tersebar di berbagai instansi pemerintah yang berbeda. Dalam kurun waktu 32 tahun, orba telah pula menghasilkan puluhan bahkan ratusan struktur organisasi instansi pemerintah yang dalam perjalannya juga mengalami pasang surut perubahan struktur organisasi masing-masing. Dalam konteks kearsipan, penciptaan organisasi atau struktur organisasi membawa konsekuensi logis terhadap perubahan pencipta arsipnya (Creating Agency). Arsip orba dalam kurun waktu yang relatif panjang itupun telah menghasilkan informasi bukan hanya bersifat politis tapi juga mengandung informasi lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan nasional. Hal-hal ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana arsip harus diakuisisi, diolah, disimpan, dilestarikan dan disajikan kepada masyarakat.
            Berbanding terbalik dengan keadaan pada masa kolonial, pemerintahan sesudah Indonesia merdeka tidak jauh beda dengan pola Belanda. Salah satunya, sumberdaya manusia yang ditempatkan untuk mengelola arsip masih dengan kesan “tempat buangan” dan arsip dalam karungan.
            Saat ini institusi yang menangani arsip adalah Kantor Arsip, Perpustakaan dan Dokumentasi untuk Kota Padang dan Badan Arsip Propinsi Sumatera Barat untuk lingkup Propinsi.
2.      Permasalahan Mendasar
            Setelah melihat bagaimana arsip dulu dan sekarang, dapat ditarik benang merah bahwa permasalahan mendasar dari kearsipan itu adalah:
a.       Kurangnya pengertian terhadap pentingnya arsip. Dengan belum atau kurang dipahaminya pengertian terhadap arsip, mengakibatkan tidak tercapainya fungsi arsip sebagai pusat ingatan dan akhirnya tugas-tugas di bidang kearsipan dipandang rendah.
b.      Kualifikasi persyaratan pegawai tidak dipenuhi. Hal ini terbukti dengan adanya penempatan pegawai yang diserahi tugas tanggung jawab mengelola arsip tidak didasarkan pada persyaratan yang diperlukan, bahkan banyak yang beranggapan cukup dipenuhi dengan pegawai yang berpendidikan sekolah dasar. Unit kearsipan juga menjadi tempat buangan bagi pegawai-pegawai yang dipindahkan dari unit lainnya, serta di samping itu masih ada anggapan, bahwa siapapun dapat mengerjakan kearsipan. Pegawai kearsipan yang kurang cakap dan kurang terbimbing secara teratur mengakibatkan tidak dapat mengimbangi perkembangan dalam bidang kearsipan.
c.       Bertambahnya volume arsip secara terus menerus mengakibatkan tempat dan peralatan yang tersedia tidak dapat menampung arsip lagi.
d.      Belum dibakukannya atau dibudayakannya pedoman tentang tata cara peminjaman arsip di masing-masing kantor, mengakibatkan setiap pegawai meminjam arsip, tanpa adanya peraturan yang jelas.
e.       Belum adanya rencana penyusutan arsip di unit operasional, maupun di kantor secara menyeluruh, mengakibatkan arsip semakin menumpuk, campur aduk dan tidak dapat ditampung lagi. Ini terlihat dari kondisi arsip di berbagai unit kerja.
            Memang sangat mendasar sekali permasalah yang dikemukakan di atas. Karena urgensinya bermuara kepada pelayanan yang prima. Sehingga tak ada salahnya jika dikemukakan beberapa upaya kearah penanggulangan permasalah di atas, antara lain:
a.       Perhatian dan dukungan dari pimpinan setiap kantor/organisasi untuk memberikan pengertian dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya bidang kearsipan dalam keseluruhan proses administrasi, perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal itu merupakan salah satu faktor yang menjamin dan menunjang berhasilnya usaha perbaikan dan penyempurnaan di bidang kearsipan.
b.      Dalam rangka menambah kecakapan/keterampilan pegawai kearsipan, maka perlu adanya pembinaan atau pendidikan dan latihan yang meliputi segala aspek kearsipan bagi para pejabat dan pelaksana secara terarah, agar dapat mengimbangi perkembangan serta dapat memenuhi syarat kualifikasi tertentu.
c.       Penggunaan arsip oleh pihak atau unit lain, menuntut adanya koordinasi antara unit dalam suatu kantor. Hal tersebut turut mempengaruhi faktor disiplin, mengingat aktivitas bidang kearsipan tidak dapat terlepas dari faktor hubungan kerja dengan unit-unit atau pihak lainnya.
d.      Sehubungan dengan sulit ditemukannya kembali arsip dengan cepat dan tepat bila diperlukan oleh pihak lain, maka salah satu usaha penanggulannya adalah perlu diteliti kembali kelemahan sistem pentaan arsip yang digunakan atau prosedur lainnya, untuk kemudian diadakan perubahan atau penyempurnaan sesuai kebutuhan. Atau mungkin sudah waktunya untuk melakukan penyederhaan tata kerja.
            Jika melihat bagaimana peran arsip di Kota Padang secara umum, akan tersirat bahwa penanganan arsip yang profesional masih dalam tahap proses. Jika muara dari kearsipan adalah penemuan kembali maka peran dari arsip itu sendiri harus lebih dioptimalkan.  Arsip jelas diharapkan menjadi otak cadangan karena endapan informasi yang dimilikinya. Namun akan riskan sekali jika harapan yang dimunculkan bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Dalam penyelenggaran pemerintahan yang amanah, peran arsip sangat sentral, karena arsip merupakan tulang punggung dari manajemen kepemrintahan yang amanah. Tidak ada satu kegiatan yang tidak memerlukan arsip dan tidak ada suatu kegiatanpun yang tidak menghasilkan arsip karena dari arsiplah dapat tercermin, terekam, dan terpotret hasil dari pelaksanaan suatu organisasi, karena arsip merupakan sumber informasi.
            Kita hanya bisa berharap arsip terus diminati, karena jika kita bersikap apatis maka peran arsip hanya sebatas secarik kertas yang menjadi rekaman informasi tapi kemudian dibuang. Bagi Kota Padang sendiri, arsip dasar untuk mengetahui jati diri pemerintahan. Terjadinya pergantian kepemimpinan tidak berarti sistem dan manajemen kearsipan ikut pula mengalami perubahan. (MR. ADAZ)

Tidak ada komentar: